Yogyakarta– bertempat di kampus Universitas Muhammadiyah
Purwokerto pada Sabtu, 4 April 2015 pukul 15.30 Bidang IMMawati PC IMM AR
Fakhruddin kembali menyenggarakan sekolah IMMawati pertemuan ke-4 yang
dilaksanakan di gedung F6 ruang 201 UMY. Kali ini IMMawan Ayub sebagai
pembicara telah menerangkan Gender dalam Al Qur’an (Peran Wanita Muslim Antara
Kesetaraan dan Keserasian Gender). Acara ini telah dirangkum oleh IMMawati
Melawati Nur Kamilah dalam tulisan dibawah ini
***
Pendahuluan
Pepatah berkata, “Bila kau
tempatkan ibu sebagai pengajar, kau akan melihat suatu bangsa yang harum
namanya”. Selain itu, ada pepatah yang berkata, “Di balik kesuksesan
orang-orang besar pasti ada wanita hebat di belakangnya”. Dari pepatah di atas,
bisa kita simpulkan bahwa wanita itu memiliki peran yang besar bagi suami,
anak-anaknya bahkan untuk masyarakatnya. Wanita dianggap sebagai pengajar yang
mampu menciptakan suatu bangsa yang harum namanya dan menciptakan orang-orang
hebat di dunia. Dan kini, globalisasi telah mengantarkan wanita pada budaya
yang semakin terbuka dan bebas yang menghadapkan wanita pada banyak tantangan
dan ujian. Salah satu dampaknya, yaitu wanita bisa saja melupakan perannya atas
dasar kebebasan (freedom), emansipasi dan hak asasi. Padahal, sebagai hamba
Allah sekaligus khalifah di muka bumi ini, laki-laki maupun perempuan memiliki
kesempatan yang sama untuk beribadah dan beramal shaleh. Allah pun telah
mengatur peran keduanya sesuai dengan fitrah mereka masing-masing.
Posisi Wanita dalam Sejarah
Manusia di semenanjung Arab sebelum Islam datang, kelahiran anak perempuan
dianggap pembawa malapetaka sehingga mereka mengubur bayi perempuan mereka
hidup-hidup. Perempuan tidak memiliki hak waris melainkan dijadikan sebagai
warisan yang diwariskan kepada anak laki-laki mereka. Laki-laki Jahiliyah
bertindak sesuka hati terhadap perempuan dan menikahi perempuan-perempuan
secara paksa._ Allah mengisahkan meraka dalam Qur’an surat An-Nahl (16):58-59. “Padahal
apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan,
wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat marah. Dia bersembunyi
dari orang banyak disebabkan kabar buruk yang disampaikan kepadanya. Apakah dia
akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau akan membenamkannya ke
dalam tanah hidup-hidup? Ingatlah betapa buruknya keputusan yang mereka
tetapkan itu.” (Qs. An-Nahl (16) : 58-59) Setelah Islam datang kedudukan
perempuan diangkat dan dihilangkan dari segala bentuk kezaliman dan
kesewenang-wenangan.
Islam menyatakan bahwa perempuan
dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama. Allah menciptakan perempuan sebagai
pasangan bagi laki-laki. Keduanya adalah makhluk yang berasal dari satu diri_.
Allah berfirman: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan
istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak.” QS. An-Nisa (4):1. Sepeninggal Nabi Muhammad saw,
kecenderungan pada superioritas laki-laki kembali menguat. Hal ini tampak dari
interpretasi para sahabat terhadap beberapa ayat Al-Qur’an tentang hubungan
sosial laki-laki dan perempuan. Laki-laki ditempatkan sebagai penguasa,
pemimpin dan pengontrol kaum perempuan, terutama pada penafsiran ayat 34 surat
An-Nisa.
Hingga kini, kesadaran masyarakat
masih sangat dipengaruhi oleh doktrin keagamaan yang belum beranjak dari sikap
diskrinatif terhadap perempuan. Banyak doktrin keagamaan (Islam) yang timpang
gender karena teks agama dipahami dan ditafsirkan secara tekstual._ Dan inilah
yang ditentang oleh para feminist muslim. Pada 581 M telah berlangsung Kongres
Besar Bangsa Eropa yang berusaha menemukan jawaban “Siapakah Perempuan itu?”.
Pada kongres tersebut sempat ditanyakan apakah perempuan itu manusia atau
termasuk golongan hewan. Akhirnya mereka menemukan jawaban bahwa perempuan
adalah manusia yang menghamba (mengabdi) pada laki-laki.
Kaum wanita di Barat mengalami
nasib tragis berupa penindasan berkepenjangan akibat jenis kelamin. Sementara
agama yang mereka anut tidak memberikan solusi sejati terhadap persoalan
tersebut. Yahudi dan Kristen menganggap perempuan adalah kejahatan, kesesatan
alami, bencana, bahaya rumah tangga serta fitnah yang membinasakan. Dalam Injil
dikatakan bahwa perempuan dipaksa untuk tunduk di bawah kekuasaan laki-laki. Selanjutnya,
pada abad ke-18 gerakan perempuan memulai perjuangan mereka. Mereka mulai
menyadari akan posisi mereka yang tertinggal yang disebabkan mereka buta huruf
dan tidak punya keahlian. Lalu seratus tahun kemudian (abad ke -19) perempuan
kelas menengah abad industrialisasi mulai menyadari akan kurangnya peran mereka
dalam masyarakt. Mereka sadar, bukan hanya kebodohan yang membuat mereka
terdiskriminasi dan tertinggal. Namun ada ketimpangan dan ketidakadilan
terhadap perempuan dalam sistem masyarakat, yang mana sistem ini terbentuk
karena pengendalian masyarakat oleh dominasi laki-laki dalam budaya patriarki. Oleh
karena itu, munculnya ideologi feminisme merupakan bentuk perlawanan terhadap
ideologi patriarki. Konsep pertama yang ditawarkan oleh feminisme adalah gender
yang pertamakali dicetuskan oleh Anne Oakley._ Bagi para feminist radikal,
laki-laki dan ideologi patriarki merupakan akar dari penindasan terhadap
perempuan. Dari satu aliran feminisme ini menganggap bahwa penguasaan fisik
perempuan oleh laki-laki adalah dasar dari penindasan terhadap perempuan. Jadi
menurut paham ini, emansipasi perempuan adalah jika perempuan lepas dari
tanggung jawab domestik mereka. Selain itu masih banyak lagi
aliran-aliran feminisme diantaranya feminisme liberal, feminisme sosial,
feminisme marxis, dan di negara-nera ketiga pun aliran feminisme, yaitu
feminisme post-kolonial. Walaupun setiap aliran memiliki pandangan masing-masing
mengenai penindasan, namun semua aliran itu sama-sama menghendaki kesetaraan
derajat dan keadilan gender bagi perempuan.
Dewasa ini, sudah banyak perempuan Indonesia yang berkecimpung di ranah publik dalam berbagai bidang yang meliputi sosial, ekonomi hingga bidang politik. Indonesia juga sempat dipimpin oleh presiden perempuan, yaitu Ibu Megawati Soekarno Putri yang hingga kini masih aktif sebagai ketua sebuah partai. Dalam bidang pendidikan perempuan telah diberi peluang yang sama dengan laki-laki. Kemudian banyak diantara mereka yang turut andil dalam perekonomian keluarga atau bahkan menjadi tulang punggung keluarga. Perempuan juga turut mencari nafkah untuk keluarga mulai dari usaha kecil seperti jualan gorengan hingga menjadi buruh pabrik, pembantu rumah tangga, atau pekerja kantoran (wanita karir), dan bahkan ada yang rela bertahun-tahun pergi dari ke luar negeri untuk menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita). Karena sibuk mencari nafkah, pada akhirnya pekerjaan domestik pun perempuan tinggalkan. Mengasuh anak diserahkan sepenuhnya pada pendidikan formal (sekolah), atau jika mereka mampu secara finansial, pengasuhan diserahkan pada baby sitter. Percraian juga sering kali terjadi karena perempuan sudah merasa lebih mapan dari segi ekonomi dibandingkan dengan suaminya.
Globalisasi memang telah membawa
banyak nilai-nilai baru serta tuntutan perubahan untuk berbagai aspek dalam
kehidupan manusia. Berangkat dari kebebasan (freedom) dan tuntutan akan
kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan serta kebencian dari sistem
patriarki, keluarga dan anak-anak menjadi terlantar, moral dan spiritual anak
tidak menjadi perhatian, materi terus dicari hingga lahirlah manusia-manusia
materialistis dan hedonis, hadir juga tuntutan untuk kesetaraan bagi “kaum homo
dan lesbi” yang kini juga mulai menjamur. Inilah fenomena yang ada saat ini.
Apa itu Gender?
Islam tidak mengenal istilah
gender. Karena istilah gender itu sendiri tidak ada dalam Al-Qu’an maupun
hadits. Wacana gender dan feminisme berasal dari Barat yang disosialisasikan
melalui berbagai media sehingga tersebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Hingga kini gender masih menjadi isu hangat yang banyak diperbincangkan. Seperti
yang telah di atas bahwasannya gender merupakan konsep yang ditawarkan oleh feminisme
untuk menganalisis masyarakat yang pertama dicetuskan oleh Anne Oeklay. Dia
memulainya dengan mengajak dunia untuk memahami dua istilah serupa, tapi tak
sama, yaitu sex dan gender. Karena dalam memahami perubahan sosial, dibutuhkan
pemahaman yang baik tentang mana wilayah yang bisa diubah dan mana yang harus
diterima begitu saja. Maksudnya, kita harus memahami bahwa di dunia ini wilayah
nature dan ada wilayah culture. Kedua istilah itu berasal dari bahasa Iggris
yang banyak dipake masyarakat Indonesia.
Pengertian mengenai jenis kelamin
merupakan pembagian dua jenis kelamin yang ditentukan secara biologis, yaitu
ada laki-laki dan perempuan. Bersifat permanen, tidak bisa berubah. Jenis
kelamin merupakan ketentuan biologis yang merupakan ketentuan Tuhan atau sering
disebut kodrat. Adapun konsep lainnya yaitu gender. Menurut Fakih (2006) gender merupakan suatu
sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikontruksi secara sosial
maupun kultural. Misalnya bahwa perempuan itu dikenal cantik, lemah lembut,
emosional, atau keibuan. Sedangkan laki-laki dianggap rasional, kuat, dan
perkasa. Sifat-sifat itu dapat dipertukarkan. Artinya ada juga laki-laki yang
lemah lembut, emosional, keibuan, sementara adajuga perempuan yang kuat,
rasional dan perkasa. Ada dua jenis gender, yaitu maskulin (sifat
kelaki-lakian) dan feminim (sifat keperempuanan. Pada umumnya, label maskulin
diletakan pada laki-laki dan label feminim pada perempuan.
Antara Kesetaraan dan Keserasian Gender
Pandangan dalam melihat bagaimana
sebaiknya posisi dan peran perempuan saat ini sebenarnya sangat dipengaruhi
oleh cara pandang gender (cara pandang feminisme). Akibatnya muncul
tuntutan-tuntutan kesetaraan (kesamaan) antara posisi dan peran wanita dalam
semua aspek kehidupan. Tuntutan gerakan perempuan itu meliputi kebebasan
melakukan aktivitas ekonomi,perluasan peranan di bidang politik, pertisipasi di
bidang pendidikan, serta kesaamaan hak dalam perkawinan dan perceraian,
sekaligus menolak mengurus keluarga (sektor domestik) yang dianggap tidak
produktif (ekonomis). Di bawah bendera feminisme, kaum perempuan mulai
mendekati dan berusaha sedekat mungkin hingga sejajar dengan laki-laki.
Islam memiliki konsep kesetaraan
yang berbeda dengan kaum feminis. Dalam Islam, antara laki-laki dan perempuan
adalah setara. Yang dimaksud setara itu adalah kedudukan keduanya dihadapan
Allah. Bukan jenis kelamin yang membedakan keduanya, tapi siapa yang paling
bertaqwa kepada Allah dia lah yang memiliki derajat yang lebih tinggi
sebagaiman dalam firman-Nya: “Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang
laki-lakidan seorang perempuan dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa di antara
kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS.
Al-Hujuraat:13)
Jelas bahwa dalam Islam tidak
mengenal sistem patriarki. Di hadapan Allah baik laki-laki dan perempuan adalah
sama, yaitu sebagai makhluk. Keduanya memiliki ditanggungkan misi dan tugas
yang sama. Sebagai makhluk keduanya memiliki tugas untuk beribadah kepada Allah
seperti yang disebutkan dalam Q.S Adz-Dzariyat (51): 56: “Dan tidaklah Aku
ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku”. Selain itu
kepada keduanya Allah mengembankan amanah kekholifahan di muka bumi ini (QS.
Al-Baqarah (2): 31). Seperti yang disebutkan sebelumnya, kesetaraan laki-laki
dan perempuan setara di hadapan Allah. Dalam Al-Quran tidak ada disebutkan
bahwa satu jenis kelamin mengsubordinatkan (melabihkan) jenis lainnya. Hubungan
antara laki-laki dan perempuan, Islam telah mengaturnya juga sesuai dngan
fitrahnya masing-masing. Laki-laki dan perempuan telah Allah ciptakan sebagai
pasangan yang serasi dan saling melengkapi satu sama lain. Perempuan pasangan
(partner) bagi laki-laki, dan laki-laki pasangan (parrtner) bagi perempuan.
Maka hubungan keduanya itu akan menciptakan keserasian dengan perannya
masing-masing. Dengan demikian, apabila dihadapan Allah kedudukan perempuan dan laki-laki itu
setara, akan tetapi hubungan antara keduanya itu dapat menciptakan keserasian.
Karena jika hubungan antara laki-laki dan perempuan secara sosial itu harus
disetarakan atau diartikan bahwa segala sesuatunya harus sama, sepadan,
sejajar, atau sebanding seperti yang dikatakan oleh feminisme, maka akan
didapati ayat-ayat al-Qur’an yang nantinya dimaknai diskriminatif terhadap kaum
perempuan.
Jauh sebelum feminisme
menyuarakan tentang kesetaraan gender, Islam telah datang lebih dulu memuliakan
perempuan. Islam lah yang membebaskan wanita dari ketidakadilan zaman
jahiliyah. Islam memberikan keadilan pada perempuan bukan dengan menyetarakan
atau menyamakan perannya dengan laki-laki. Keadilan perempuan dalam Islam adalah
dengan mengembalikan perempuan pada fitrahnya sebagai perempuan yang secara
fisik berbeda dengan laki-laki sehingga peran keduanya pun berbeda. Salah satu
yang dipermasalahkan oleh para feminis Islam adalah mengenai Q.S An-Nisa (4):
34. Para feminis menilai bahwa ayat tersebut bias gender karena seringkali ayat
ini dijadikan alat untuk mengancam perempuan untuk tunduk dan patuh pada
laki-laki. Asbabun nuzul ayat ini kerena pada saat itu ada seorang shohabiyah
yang mengadu kepada Nabi saw bahwa ia telah dianiaya suminya. Sambil menahan
amarah dan rasa iba, Nabi menyuruh suaminya menghadap Nabi dan turunlah ayat
tersebut sebagai peringatan bagi laki-laki untuk menjaga terhadap perempuan. kata “qawwaamuuna”ditafsirkan
sebagaipenguasa, pemimpin, penjaga, atau pelindung perempuan. Dalam ayat itu
dikatakan bahwa Allah memberikan kelebihan kepada laki-laki karena dalam
keluarga suamilah yang memiliki tanggung jawab untuk menafkahi dan menjaga
istri dan anak-anaknya.
Secara biologis, perempuan dan
laki-laki memiliki struktur anatomi yang berbeda. Struktur otak laki-laki
berbeda dengan otak perempuan. Jelasnya, perempuan dan laki-laki itu berbeda.
Tidak bisa keduanya disamakan sebagaimana yang dikatakan oleh para feminis.
Struktur otak yang berbeda ini menciptakan mental dan cara berfikir yang
berbeda antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu Allah memberikan peran
yang berbeda kepada keduanya untuk saling melengkapi, saling berbagi peran, dan
saling menguatkan. Dan itulah yang akan menjadikan kesempurnaan bagi keduanya
dalam membina rumah tangga. Dalam keluarga, wanita sebagai istri memiliki
posisi penting, yaitu bersama suami menciptakan rasa kasih sayang (Ar-Rum, 30:
21) untuk mencapai keluarga yang sakinah. Keluarga yang mampu memberikan kasih
sayang kepada anggota keluarganya, sehingga berkembang rasa aman, tentram,
damai dan sejahtera dunia dan akhirat.Adapun laki-laki sebagai suami memiliki
peranan penting dalam mendampingi dan menjaga istrinya dengan apa yang
dilebihkan Allah atas dirinya dan juga dengan apa yang dia nafkahkan untuk
istri dan anak-anaknya (An-Nisa, 4:34). Dalam hal ini, suami memiliki kewajiban
untuk mendidik istrinya agar menjadi istri yang sholehah, istri yang dapat
memberikan kontribusi terhadap keluarga dan masyarakat sekitar.
Peran Wanita Muslimah sebagaimana
laki-laki, perempuan juga mengemban misi yang sama sebagai khilfah fil ardh
untuk menjaga alam ini dan menyelamatkan peradaban. Dengan demikian, wanita
muslimah memiliki peran yang utuh. Perempuan memiliki kesetaraan derajat sebagai
hamba Allah serta mengemban amanah yang sama dengan laki-laki. Di dalam
keluarga, perempuan memiliki posisi penting dalam mendidik dan menanamkan
syari’at Islam kepada anak-anak sejak dini. Mulai dari ia mengandung hingga
melahirkan kemudian membesarkan anak-anaknya dengan perhatian dan kasih sayang
yang penuh untuk menciptakan generasi yang islami, bermoral dan bermartabat. Di
samping itu, sebagai muslimah juga memiliki peran dalam mendidik ummat,
memperbaiki masyarakat dan membangun peradaban, sebagaimana yang telah
dilakukan oleh shahabiyah dalam mengantarkan masyarakat yang hidup di zamannya.
Islam sangat menghormati
eksistensi perempuan, misal;nya masyarakat Islam periode awal. Oleh karena itu,
jika para muslimah ingin merekontruksi citranya, tiada salahnya jika menengok
kembali ke zaman muslim ideal (zaman Nabi dan khulafaurrasyidin). Dalam
keluarga Nabi saw dikisahkan bahwa Khodijah adalah pengusaha yang sukses jauh
sebelum menikah dengan Nabi. Khodijah senantiasa menjadi penyemangat bagi Nabi
sekaligus menjadi donatur dalam kegiatan dakwah Nabi. Selain itu ada sosok
pemberani, yaitu Fatimah yang tampil membela ayahnya saat orang-orang Quraisy
datang mengganggu dan melempari Nabi dengan kotoran. Fatimah dan Aisyah juga
termasuk regu penolong dan penyedia logistik dalam perang Uhud. Selain itu,
Aisyah adalah salah satu perowi hadits yang paling banyak meriwayatkan hadits.
Aisyah juga aktif dalam politik dan perang, ia pernah terjun langsung memimpin
40 wanita dalam perang Jamal tahun 692. Memang tak ada larangan bagi muslimah
untuk bekerja di luar rumah menjadi seorang pengusaha, atau memilih
pekerjaan-pekerjaan yang berbau sosial seperti perawat, dan tidak ada larangan
bagi perempuan untuk menjadi pendidik, muballighat, ataupun politikus. Selama itu
tidak bertentangan dengan syari’at Islam dan jangan sampai terjebak dalam
wacana gender yang disosialisasikan oleh para feminist.
Allah telah menciptakan dan
mengatur peran perempuan sebagaimana fitrahnya, yaitu mengandung, melahirkan
dan menyusui. Tugas utama seorang istri dan ibu adalah menjalin sebuah hubungan
yang harmonis dengan keserasian bersama suami, berbagi peran dalam mendidik
anak-anak dan menciptakan keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah. Menjadi
figur yang baik bagi anak-anaknya. Karena faktor terbesar yang menyebabkan
kenakalan anak-anak adalah orang tua. Kegagalan mendidik dan membangun moral
anak-anak sama halnya dengan gagal menciptakan generasi emas dan gagal
menciptakan sebuah peradaban. Wallahu
a’lam bi ash-showaab
Daftar Pustaka
§
Dra. Hj. Siti Mujibatun dkk. 2002. Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan
Gender Jilid I. Gama Media. Yogyakarta.
§
Siti Muslikhati. 2004. Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam. Gema
Insani. Jakarta.
§
Ikhwan Faauzi, LC.. 2002. Perempuan dan Kekuasaan (Menelusuri hak Politik dan Persoalan Gender
dalam Islam). Amzah
§
Siti Ruhaini Dzuhuyatin dkk. 2003. Sangkan Peran Gender. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.
§
Siti Ruhaini Dzuhuyatin dkk. 2002 Rekontruksi Metodologis Wacana Kesetaraan
Gender dalam Islam. Yogyakarta
§
Mansour Fakih. 2001. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta
§
Nawari Ismail. 2010.
Pergumulan Dakwah Islam dalam Konteks
Sosial Budaya Analisis Kasus Dakwah. Yogyakarta. pustaka book publisher
0 komentar :
Posting Komentar