Neoliberalisme dan Indonesia



[1]Mirza Sulfari

kita dengar di dalam dunia akademisi maupun di keseharian kita suatu istilah ekonomi yang sedang berkembang sekarang ini, yaitu Neoliberalisme. Neoliberalisme biasa disebut oleh kalangan akademis maupun praktisi yaitu kapitalisme gaya baru. Suatu faham ekonomi yang diciptakan oleh adanya suatu refleksi gaya baru sistem kapitalisme.
Sistem kapitalisme memiliki dasar atas ekonomi politik yang memiliki ciri-ciri, adanya pengakuan yang luas atas hak-hak individu dalam setiap aktifitasnya. Perekonomian diatur oleh mekanisme pasar. Motif yang berkembang dalam kapitalisme ialah motif mencari laba yang sebesar-besaranya .
Neoloberalisme suatu sistem yang terlahir atas kesadaran bagi kaum-kaum borjuis atau kaum pemodal terhadap kaum-kaum proletar. Sungguh menarik jika kita mengkaji suatu sistem ekonomi kapitalisme ini pada kajian konteks Indonesia. Mengapa? Karena Indoensia dalam iklim ekonomi politiknya menjadi target utama Neoliberalisme. Lahan produksi yang begitu besar dan begitu potensial bagi kaum-kaum yang ingin bermain dalam permainan ekonomi Indonesia. Dari alam hingga sumber daya manusia menjadi target utama bagi pemuas investor-investor asing yang berkamuflase pada Neo-Liberalisme.
Perkembangan awal ideologi liberal erat kaitanya dengan pemikiran-pemikiran yang lahir pada masa pencerahan dan revolusi Perancis pada akhir abad ke-18 dan perlu diketahui bahwa Neoliberalisme merupakan ideologi kelas tertentu yang mencerminkan kepentingan tertentu. Kebiasaan, persamaan, dan keterikatan persaudaraan jelas mengacu pada aspirasi kaum borjuis Perancis (pengusaha kelas menengah, pemilik toko, pedagang, intelektual, dan para profesional) yang merasa dikekang oleh lembaga kebangsawanan yang dikuasai oleh monarki absolut. Arus yang berkembang dari revolusi Perancis tersebut berdampak pada negara Indonesia yang memiliki predikat sebagai negara berkembang.
Menyusul kemerosotan nilai rupiah, Pemerintah Indonesia kemudian secara resmi mengundang IMF untuk memulihkan perekonomian Indonesia. Sebagai syarat untuk mencairkan dana talangan yang disediakan IMF, pemerintah Indonesia wajib melaksanakan paket kebijakan Konsensus Washington melalui penanda-tanganan Letter Of Intent (LOI), yang salah satu butir kesepakatannya adalah penghapusan subsidi untuk bahan bakar minyak, yang sekaligus memberi peluang masuknya perusahaan multinasional seperti Shell, Exxon mobile dan lain-lainnya. Begitu juga dengan kebijakan privatisasi beberapa BUMN, diantaranya Indosat, Telkom, BNI, PT. Tambang Timah dan Aneka Tambang lainnya.
Neoliberalisme yang berkamuflase dalam sendi-sendi perekonomian di Indoensia. Dengan begitu bebas dan leluasa untuk menyebar jaring kepntingannya. Neoliberalisme menghendaki kontrol pada lembaga parlementer sebagai pengganti monarki dan menginginkan agar semua orang mendapat kesempatan yang sama untuk mengembangkan diri, sekurang-kurangnya ketika lahir, tidak terbebani oleh perbedaan-perbedaan, gelar, dan derajat sebagai pengganti hal-hal istimewa dan status sosial yang diwariskan. Adapun liberalisme baru ekonomi saat ini diartikan sebagai dukungan ideologi bagi program pemerintah yang berusaha untuk mendorong persamaan untuk memperoleh kesempatan secara lebih besar bagi setiap warganegara. Dengan demikian maka Neoloberalisme menginginkan agar peranan pemerintah lebih besar dalam masalah-masalah kewarganegaraan. Akan tetapi dibalik semua itu simpul-simpul kepentingan yang dimiliki oleh negara akan terkikis karena ketergantungan negara kepada bantuan dari negara donatur.
Menurut Ari A. Perdana ”bahwa bahwa problem ekonomi yang diwariskan oleh Orde Baru adalah akibat dari kebijakan ekonomi yang berorientasi pada pasar serta tunduknya negara pada kepentingan modal. Namun analisis secara empiris menunjukkan bahwa karakter pengambilan kebijakan ekonomi Orde Baru bersifat sentralistik dan state-centered. Modal memiliki peran dalam menentukan arah kebijakan, namun perannya untuk mendikte kebijakan sangat terbatas. Ekonomi yang berbasiskan mekanisme pasar, di sisi lain, tidak pernah dijalankan secara sungguh-sungguh. Keputusan untuk mengambil sejumlah kebijakan deregulasi dan liberalisasi pun lebih merupakan akibat dari tekanan internal dan eksternal dan bukan merupakan pilihan ideologis. Pasca-Suharto, memang ada pengurangan dominasi negara di satu sisi, dan ruang bagi kepentingan modal global di sisi lain, dalam menentukan arah kebijakan ekonomi .
Datangnya mekanisme pasar pada ekonomi di Indonesia diakibatkan oleh beberapa faktor yang mendukung yaitu: (1) Adanya regulasi atau kebijakan yang berpihak kepada orientasi pasar. Nantinya pasar yang menilai atas kebutuhan masyarakat Indonesia, tidak bagi kebutuhan privat yang menentukan pasar yaitu pemerintah. Privat disini ialah pemerintah sebagai pelayan yang menciptakan kesejahteraan untuk masyarakat dan mengkontrol sepenuhnya roda kenegaraan dalam mewujudkan masyarakat yang sejahtera secara utuh. (2) terbentuknya sistem pemerintahan yang sentralistik dan tidak terciptanya suatu dinamika politik yang berorientasi pada konstruksi berfikir yang transformatif. Karena regulasi (kebijakan) pemerintahan yang sentralistis ditentukan oleh pasar yaitu pemodal asing yang memiliki peran utama menentukan arah regulasi pemerintah. Lemahnya peran negara menjadikan suatu blunder bagi arah kebijakan ekonomi politik di Indonesia. Yang berdampak pada krisis yang tidak menentu terhadap ekonomi kita sekarang ini. Mekanisme pasar menjadi pilihan bagi pemerintahan Indonesia untuk menstabilakan konstalasi politik ekonomi yang sedang berkembang sekarang ini. Menurut beberapa ahli bahwa Indonesia kembali pada marjinalisasi ekonomi pada tahun 1930 dimana kaum merkantilisme (pasar) akan menentukan regulasi-regulasi yang selalu berorientasi pada kepentingan kaum-kaum pemodal. Indepedensi (kemandirian) negara akan semakin lemah dan tidak dapat mengontrol proses produksi ekonomi politik untuk menciptakan kesejahteraan masyarakatnya.
Menurut Piere Bordiue kapitalisme berkamuflase dalam 4 (empat) model. Pertama, Simbolik Kapital, dimana gelar dan jabatan menjadi faktor bagi lahirnya sebuah kapital (modal). Ketika seorang memiliki gelar maupun jabatan maka nantinya akan dapat menghasilkan modal baru. Kedua, Kapital Modal. Penghasilan dan pendapatan menjadi kepemilikan yang memiliki peran dalam membangun atau menghasilkan modal. Ketiga. Culture modal, budaya menjadi reproduksi bagi penghasilan modal. Dan yang terakhir adalah sosial modal. Habitus (kebiasaan) dalam relasi sosial akan dapat menciptakan modal. Model dari reproduksi modal seperti itulah yang akan menciptakan kebiasaan-kebiasaan atau yang biasa disebut dengan habitus yang nantinya akan menciptakan kapital-kapital baru dalam berkehidupan ekonomi politik di Indonesia.
Solusi bagi bangsa indonesia yang terjerat oleh arus Neoliberalisme adalah dengan membangun dan memformulasi kembali ekonomi kebangsaan yang berorientasi pada lokalitas budaya. Karena potensi budaya dan potensi alam yang dimiliki oleh indonesia sangat kaya dan produktif. Dengan adanya ekonomi kebangsaan akan membangkitkan spirit atau semangat bernegara sekaligus mendorong terciptanya kemandirian ekonomi. Dorongan capital culture (piere bordieu) akan mempertahankan kembali potensi-potensi ekonomi yang dimiliki bangsa ini untuk keluar dari jerat si tangan tidak terlihat Neoliberalisme.
_________________________________
[1] kabid iptek cabang A.R Fakhruddin, kota Yogyakarta
Share on Google Plus

About PC IMM AR FAKHRUDDIN

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :