Sebuah Cerita Tentang Gerakan Mahasiswa

Dalam sebuah pertemuan saya bertemu dengan seorang kawan yang bertanya. apakah perlu kita mati, menjadi tahanan politik atau masuk bui karena terangkap polisi gara-gara ikut demo bukankah hal itu hanyalah sesuatu yang sia-sia? Sekarang seseorang boleh mempunyai idealisme yang kuat dan kokoh tapi nanti kalau sudah mendapat jabatan yang diinginkan sama saja toh mereka juga melakukan hal yang sama? Dan itu akan terjadi secara terus menerus seperti lingkaran setan yang tak bisa dihindari..pertanyaan ini hampir sama dengan yang ada diotak saya saat pertama kali masuk kamps ini, sampai detik ini saya masih mencari jawaban atas pertanyaan tersebut karena hal itu sangat membutuhkan proses yang agak lama. Saya tak banyak memberikan jawaban karena jawaban atas pertanyaan ini bukanlah sebuah jawaban dengan untaian kata-kata tapi sebuah pengalaman hidup yang harus dialami dalam gerakan mahasiswa.
Gerakan mahasiswa pada dasarnya seperti yang diungkapkan salah seorang dosen dalam sebuah pertemuan adalah sesuatu yang biasa-biasa saja, yang membedakannya mereka mempunyai karakter yang membentuk pola pikir dan tingkah laku mereka, sehingga berimplikasi pada pentingnya sebuah ideologi yang dapat menentukan kearah mana mereka harus bergerak dan bersikap. Gerakan mahasiswa juga tidak memberikan apa-apa selain apa yang ia perjuangkan, maksudnya tidak dapat memberikan hal-hal yang bersifat materi karena gerakan ini bukan organisasi pragmatis melainkan sesuatu berdiri diatas gerakan moral dan politik nilai. Karenanya, tak banyak orang yang ingin hidup dalam gerakan ini. Che Guevara pernah memberikan contoh bahwa seseorang yang mempunyai keinginan keras terhadap sebuah perubahan pantang untuk menyerah bahkan ia sangat menentang sikap balik arah yang membabi buta dengan menanggalkan keimanan revolusioner yang ia yakini, makanya dia tak penah betah terhadap kemapanan yang menindas dan lebih memilih menjadi seorang gerilayawan, menurutnya “...perhatian pertama seorang gerilyawan bukanlah untuk menyelamatkan diri tapi bagaimana mati secara terhormat, tiap gerilyawan harus siap mati, bukan mempertahankan gagasan, tetapi mentransformasikan dalam realitas, tiap gerilyawan harus menunjukkan upaya moral tanpa cela dan kontrol diri yang ketat..”. perubahan bukan sesuatu yang harus ditunggu, melainkan sesuatu yang harus dikerjakan baik itu perubahan terhadap diri, masyarakat maupun bangsa. Dunia pergerakan pada dasarnya mempunyai beberapa tujuan dimana salah satunya tercipta sebuah keadilan dalam masyarakat, si kaya dapat menunaikan kewajiabannya dan si miskin dapat menerima hak yang semestinya ia terima. Terkadang yang tak bisa dihindari dalam dunia pergerakan adalah maraknya godaan yang bersifat pragmatis sehingga berimplikasi pada terkikisnya idealisme yang diyakini selama ini karena kebutuhan sosial, namun hal ini bukanlah sebuah jaminan karena masih banyak orang yang tetap mempertahankan idelismenya. Sehingga, tak pernah terbesit dalam pikirannya untuk berubah arah dari apa yang ia yakini dan yang ia perjuangkan.
Seorang intelektual yang hidup dalam dunia pergerakan melihat sebuah pendidikan bukan hanya dalam ruang kelas maupun kuliah, ia melihat bahwa pendidikan sesungguhnya diperoleh melalui pertemuan dan perjumpaan dengan sebuah penindasan, dengan adanya pertemuan realitas ini maka terbentuk sebuah karakter yang tidak hanya pintar berdebat, sibuk bersekolah dan gemar membuat desain penelitian pesananan kaum penindas karena bukan itulah yang mereka cari. Hampir tak ada yang diharapkan munculnya kaum intelektual progresif dalam ruang-ruang kelas yang baku nan formal. yang ada mereka telah menyempal dari tradisi baku dunia pendidikan, sekali lagi dunia pendidikan telah telah gagal menyediakan kurikulum yang mampu menyentuh persoalan-persoalan dasar kemanusiaan, bagaimana tidak sekolah yang berkualitas termasuk sekolah islam sudah tak terjangkau lagi mereka yang miskin, harapan untuk menjadi seorang dokter bagi si miskin dengan harapan dapat membantu saudaranya yang juga miskin harus pupus gara-gara biaya masuk yang semakin menggila dan tak rasional, sekolah hanya untuk mereka yang kaya dan pintar. Kalau yang terjadi seperti ini jangan pernah berbicara masalah perubahan sosial, kalau mereka tak kuasa melawan pusaran keras dunia pragmatisme. Produk (baca sekolah islam) sudah melenceng dari tujuannya semula, karena sudah mulai menyesuaikan diri dengan keadaan pasar yang akhirnya nilai revolusioner yang ada dalam Al-Qur’an pun mereka tanggalkan, padahal Sayyid Qutb pernah memandang Al Qur’an bukan hanya sumber bacaan ritual yang hanya menghasilkan kebekuan iman, ia berpandangan Al Qur’an dalam konteks perubahan sosial, salah salah satu bukunya ia menulis “...mereka (generasi pertama)membaca Al Qur’an bukan untuk sekedar ingin tahu dan sekedar membaca, juga sekedar untuk merasakan dan menikmatinya..mereka menerima perintah dari Allah swt untuk segera diamalkan setelah mendengarnya, sepeti seorang tentara dalam medan perang menerima “perintah harian” yang langsung ia kerjakan setelah diterimanya!...maka Al-Qur’an merasuk dalam diri mereka..yang tidak semata berada dalam otak dan kalimat-kalimat yang tersimpan dalam kertas, namun menjadi wujud perubahan dan peristiwa yang mengubah perjalanan hidup..”. jelas sudah, kalau Al Qur’an memang petuntujuk bagi sebuah perubahan dan dunia pergerakan merupakan salah satu sarana untuk menuju perubahan itu. Pergerakan menuju perubahan bukan lahir dari sikap apatis dan materialistik melainkan hahir dari sebuah perasaan dan tekat membara yang kemudian dibuktikan dalam realitas sosial, keglamoran (apatis materialistik) hanya akan membuat kita menjadi buih nan bodoh ditengah lautan, kalau kita memang mempunyai jiwa dan rasa cinta terhadap agama yang kita yakini alangkah malu dan dan bodohnya kalau kita tetap berdiam diri menyaksikan keadaan yang tak berpihak ini
Seseorang yang hidup dalam dunia pergerakan, seharusnya tak terlampau kuatir dengan kenyataan sosial yang menghimpit, sesorang yang tak pernah takut terhadap resiko yang siap menerjang. Pendidikan yang hanya menghamba pada pasar tak mungkin akan menghasilkan intelektual pembaharu melainkan hanya akan menghasilkan intelektual organik, yang pastinya hanya akan memunculkan intelektual yang setia pada kekuasaan, baik pada industri dan menyediakan diri dan patuh terhadap pasar.pertumbahan ekonomi misalnya, hanya dinilai dari seberapa besar investasi, seberapa banyak tenaga kerja yang terserap dan serapa stabil kurs rupiah bukan diukur dari jaminan kesehatan terbaik, jaminan kesehatan dan pendidikan layak dan tersedia. Itulah sebabnya pendidikan ekonomi mengajarjan mahasiswanya tetang bagaimana menjadi “Bos dan Bawahan” atau yang lebih ekstrim “Budak dan Majikan” karenanya bursa kerja banyak dilakukan dikampus-kampus, kompetisi dan pengangguran adalah masalah utama yang perlu diatasi bukan sebuah penyadaran akan pentingnya sebuah pendidikan, pendidikan seakan hanya ingin mencetak para kaum pekerja yang tak tahu arah, sehingga Para ekonom kemudian mengusulkan liberalisasi, privatisasi dan deregulasi dalam berbagai sektor untuk mengatasi persoalan diatas..tak apa bangsa ini menjadi budak, asal sang tuan tetap bisa tersenyum.Kawan, Kawan.. Sudah saatnya kita bangun dari mimpi-mimpi kenaifan ini, mari kita satukan arah songsong perubahan kearah yang lebih baik bukan malah berdiam diri seperti ini.

by, Makrus |
Share on Google Plus

About PC IMM AR FAKHRUDDIN

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :