Al-‘adl Al-Ilahiy(Sebuah Tinjauan Atas Asas Pandangan Dunia Islam)

Oleh: Zulkifli Abu
Prolog
Persoalan keadilan (al-‘adl) telah menjadi isu sentral yang diperdebatkan oleh para teolog dan filusuf pada masa lalu. Konsekuensi pembahasan ini telah melahirkan sejumlah aliran teolog, seperti kelompok As-Syari’ dan Mu’tazilah serta telah melahirkan sejumlah pandangan pokok yang dianut, seperti aliran al-jabr (predestination), juga al-qadr (kebebasan). Lebih jauh lagi, pembahasan tentang masalah keadilan, telah memasuki bidang- bidang pembahasan yang lain, seperti tauhid (tawhid), baik dalam zat, sifat maupun perbuatan Allah SWT, nilai perbuatan (kebaikan dan keburukan), kebebasan dalam perbuatan manusia, serta konsekuensi logis atas segala jenis perbuatan manusia dikaitkan dengan keadilan Allah SWT. Dengan demikian, pembahasan mengenai keadilan berkorelasi dengan sejumlah persoalan- persoalan yang mendasar dalam kehidupan, tentu dalam pandangan Islam yang khas.
Pembahasan tentang keadilan, dalam kaitannya dengan takdir dan kehendak bebas manusia dalam berbuat telah melahirkan beberapa pertanyaan mendasar: 1) apakah manusia sebagai makhluk Allah tidak bebas dalam melakukan suatu perbuatan, dalam arti bahwa semua perbuatan yang dilakukan manusia (baik dan buruknya) adalah kehendak dari Allah tanpa intervensi kehendak manusia secara mandiri? 2) Ataukah manusia mempunyai kehendak bebas dalam melakukan perbuatannya sehingga baik dan buruk suatu perbuatan adalah konsekuensi dari kehendak bebasnya, dan dalam padanya konsekuensi pahala dan dosa menjadi bermakna? Tentu saja pertanyaan ini kemudian melahirkan dua pandangan yang khas yang telah saya sebutkan di atas, yakni predestinasi dan kehendak bebas manusia. Pandangan pertama mengindikasikan bahwa manusia tidak memiliki otoritas apapun dalam melakukan perbuatannya, sehingga meskipun baik dan buruk suatu perbuatan adalah kehendak dari Allah SWT, bukan keinginan manusia. Sedangkan pada pandangan yang kedua menyatakan bahwa baik dan buruk suatu perbuatan, manusialah yang berkehendak melakukannya, bukan kehendak dari Allah.
Dalam tulisan sederhana ini, saya akan mencoba menguraikan (dengan kapasitas dan keterbatasan saya) tentang beberapa persoalan yang berkaitan dengan keadilan sehingga kita, minimal bisa memahami serta menyimpulkannya melalui sebuah kerangka pandangan dunia Islam.
Predestinasi (jabr) atau Ikhtiyar (Qadr)?
Dalam memahami masalah predestinasi dan ikhtiyar manusia, sejumlah teolog telah bergelut ke dalam dua medan pemikiran yang berbeda satu sama lainnya. Sebagian teolog meyakini bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kehendak bebas dalam bertindak (ikhtiyar). Dalam konsepsi mereka, akal manusia adalah sesuatu yang mandiri dan berkuasa untuk mengendalikan kecenderungan manusia dalam berbuat. Terlepas dari baik atau buruknya nilai perbuatan yang telah diperbuatnya, semua dilakukannya dengan sadar. Pandangan semacam ini memiliki implikasi yang logis tentang masalah pemberian pahala atas nilai baik perbuatan dan pemberikan dosa dan siksa atas nilai buruk perbuatan. Artinya, bahwa dengan prinsip kehendak bebas ini, maka sangat layak jika perbuatan- perbuatan manusia diganjari pahala ataupun dosa, dan manusia secara logis menerima itu sebagai sebuah kesemestian, tanpa keberatan. Dalam memahami persoalan keadilan, teolog dalam kelompok ini (mu’tazilah) menyatakan bahwa keadilan merupkan eksistensi yang mandiri sehingga Allah SWT dalam segenap perbuatannya berdasar pada tolak ukur keadilan tersebut. Jika kita perhatikan serangkaian perbuatan secara terpisah dari kehendak Allah dalam mencipta (takwini) atau menentukan syari’at (tasyri’i), kita akan menemukan bahwa tiap- tiap perbuatan berbeda satu sama lainnya dalam jenis dan nilai yang dikandungnya. Ada sebagian yang bersifat adil, dan sebagiannya bersifat zalim. Oleh karena tiap perbuatan berbeda satu dengan lainnya, dan oleh karena Allah SWT bersifat mutlak Adil dan Sempurna, maka Dia pasti melakukan segenap perbuatan-Nya sesuai dengan kriteria keadilan.
Sebagian teolog lain meyakini bahwa manusia tidak memiliki kuasa atas segenap perbuatan yang ia perbuat. Apa yang diperbuat oleh manusia, baik dan buruknya merupakan kehendak dari Allah SWT. Jadi, manusia hanya sebagai sarana untuk melakukan perbuatan yang lahir dari kehendak Allah ta’ala. Menurut pandangan ini, akal manusia adalah sesuatu yang tidak mandiri dalam menentukan kecenderungan manusia dalam berbuat. Mereka meyakini, tentu dengan pendekatan iman, bahwa segenap perbuatan manusia sudah ditentukan oleh Allah sedemikian rupa sehingga manusia (terpaksa atau tidak terpaksa) harus melakukannya. Pandangan semacam ini kita kenal dengan pandangan yang fatalistik atau dengan kata lain, pemasrahan total pada kehendak Allah tanpa melihat sisi ikhtiyar manusia. Implikasinya secara logis dan umum adalah pemberian pahala dan dosa menjadi tidak berarti, sebab semua yang diperbuat adalah kehendak Allah, bukan manusia. Jika Allah menyiksa orang- orang yang berbuat zalim di muka bumi ini, maka Allah telah berlaku zalim terhadap makhluknya. Dalam memahami keadilan, kelompok ini (asy’ari) meyakini bahwa keadilan bukanlah eksistensi yang mandiri. Berbeda dengan kelompok lainnya, asy’ari memiliki pandangan bahwa kita tidak bisa menjadikan keadilan sebagai sesuatu yang mandiri yang dengannya Allah SWT menjadikannya sebagi tolak ukur perbuatannya. Sebab, dengan mengatakan demikian, berarti kita telah membatasi kehendak Allah SWT dalam berbuat. Maksud dari keadilan ilahi bukanlah berarti bahwa Allah mengikuti hukum- hukum keadilan yang ditetapkannya, akan tetapi bahwa Allah adalah sumber keadilan dan perbuatan Allah lah yang menjadi tolak ukur keadilan. Sederhananya: setiap perbuatan Allah adalah baik, dan bukan setiap yang baik, pasti dilakukan Allah SWT.
Selanjutnya para teolog dari dua kelompok tersebut merelasikan pembahasan masalah predestinasi dan ikhtiyar dalam perbuatan manusia ke dalam pembahasan yang lebih prinsip lagi, yakni masalah ketauhidan. Pertanyaan mendasar yang dibahas adalah: apakah Sifat Allah SWT identik dengan Zat-Nya? Ataukah keduanya merupakan sesuatu yang berbeda, yakni Sifat Allah merupakan sesuatu yang berdiri sendiri, demikian juga dengan Zat-Nya. Para teolog yang rasionalis (mu’tazilah) berpandangan bahwa sifat Allah SWT tidak berbeda dengan zat-Nya atau identik. Sifat dan zat Allah identik dan karenanya ia bersifat qadim. sehingga bagi mereka, pandangan tersebut meninscayakan tauhid dan tidak ada sekutu bagi Allah. Sementara itu, kelompok lain (asy’ari) memiliki pandangan sebaliknya, yakni bahwa sifat dan zat Allah tidak identik atau berbeda satu sama lain, akan tetapi sifat Allah juga qadim seperti zat-Nya. Konsekuensi ketidak-identikan tetapi qadim ini mengundang klaim pihak mu’tazilah bahwa pandangan ini merusak akidah tauhid, sebab kita mengakui beragam sifat dan zat yang berbeda, akan tetapi qadim seperti qadim-nya Allah SWT.
Makna Keadilan
Sebelum kita membahas lebih jauh, inilah pertanyaan mendasar yang harus dibahas. Apakah yang dimaksud dengan keadailan itu? Seberapa penting masalah keadilan dalam dinamika kehidupan manusia dalam segala aspek? Dengan memahami makna keadilan, kita akan memperoleh pengetahuan yang jelas dalam menempatkan keadilan di dalam perbuatan- perbuatan manusia.
Menurut Murtadha Muthahhari dalam bukunya “Keadilan Ilahi”, kata keadilan digunakan dalam empat hal:
1) Keseimbangan.
Adil dalam konsep ini berarti keadaan yang seimbang. Konsep keseimbangan ini secara spesifik dapat kita lihat pada susunan dan sistem alam yang telah diciptakan Allah secara komprehensif serta indah dan seimbang. Allah SWT berfirman dalam Qur’an suci:
Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan nerca (keadilan). (QS. Ar-Rahman: 7).
Ayat di atas, oleh sebagian ahli tafsir menunjuk pada keadaan alam yang tercipta secara seimbang. Keseimbangan semesta ini dapat kita lihat pada pola dan hubungan antar objek dan partikel yang ada di dalamnya, yang kesemuanya berelasi satu sama lain sedemikian rupa sehingga kehidupan menjadi indah. Allah SWT telah menyusun sistem di semesta ini dengan susunan terbaik dan seimbang.
2) Persamaan dan Nondiskriminasi
Keadilan dalam pengertian ini adalah persamaan dan penafian terhadap diskriminasi dalam bentuk apapun. Keadilan dalam konteks ini, di luar hubungannya dengan perbuatan Allah, adalah keadilan yang berlaku dalam realasi sosial di masyarakat, antara individu dengan individu lainnya, pemimpin dengan rakyat dan lain sebagainya. Akan tetapi, persamaan yang dimaksud dalam konsep keadilan ini tidak berarti kita memberikan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan kepada orang lain secara sama rata, tidak pilah dan pilih. Semua berhak mendapatkan yang sama, sama banyak sama rata, tanpa pembedaan atau bahkan sebaliknya, tidak memberikan secara sama rata. Jika kita menggunakan keadilan dengan konsep tersebut, maka persamaan yang dimaksud sama dengan kezaliman itu sendiri. Sebab, dalam kehidupan manusia, tingkat kelayakan dan kebutuhan sangat beragam sehingga tidak bisa tidak harus ada yang menempati tingkat yang diprioritaskan di satu sisi dan juga tidak diprioritaskan di sisi lain. Yang dimaksud dengan persamaan dalam konsep ini adalah terpeliharanya persamaan pada saat kelayakan memang sama. Artinya, ketika setiap individu layak dan berhak menerima sesuai dengan prioritas kebutuhannya, maka kita harus memperalukannya secara sama atau setara.
3) Pemberian Hak Kepada Pihak yang Berhak
Keadilan dalam pengertian ini adalah memberikan sesuatu kepada yang lain yang layak dan berhak menerimanya. Keadilan semacam ini adalah keadilan sosial, yang berlaku di masyarakat dan setiap manusia memiliki harus berjuang untuk menegakkannya. Ketika manusia bertindak tidak memelihara hak dan kelayakan individu- individu maupun kelompok, tidak member sesuai tingkat kebutuhan, hak dan kelayakan yang dimiliki, maka ia telah berbuat zalim. Tolak ukur keadilan dalam konsep ini bersandar pada dua hal:
Pertama, hak dan prioritas, yaitu adanya hak dan prioritas setiap individu maupun kelompoknya jika dibandingkan dengan yang lain. Klaim terhadap hak dan tingkat prioritasnya didasarkan pada usaha yang dilakukannya dan hak alami yang ada dalam rencana penciptaan. Misalnya, individu melakukan suatu pekerjaan dan membuahkan hasil, maka ia memiliki prioritas dan hak atas hasil pekerjaannya tersebut. Ini didaarkan pada tingkat usaha yang dilakukannya. Di sisi lain, misalnya bayi yang dilahirkan, melalui rencana ilahi dalam penciptaan, memiliki klaim hak dan prioritas atas air susu ibunya.
Kedua, karakter khas manusia, yang tercipta dalam bentuk yang dengannya manusia menggunakan sejumlah ide i’tibari tertentu sebagai ‘alat kerja’ itu, ia bisa mencapai tujuan- tujuannya. Ide- ide itu akan membentuk serangkaian gagasan yang penentuannya bisa dengan perantara ‘seharusnya’.
Dalam hal ini, seorang penyari bernama Mawlawi menulis:
Apakah keadilan? Menempatkan sesuatu pada tempatnya
Apakah kezaliman? Menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya
Apakah keadilan? Engkau siramkan air pada popohonan
Apakah kezaliman? Engkau siramkan air pada duri
Kalau kita letakkan “raja” di tempat “benteng”, rusaklah permainan (catur)
Kalo kita letakkan “menteri” di tempat “raja”, bodohlah kita

4) Pelimpahan Wujud Berdasarkan Tingkat dan Kelayakan
Inilah pengertian keadilan dalam kaitannya dengan Allah SWT. Keadilan dalam pengertian ini adalah tindakan memelihara kelayakan dalam pelimpahan wujud, tidak mencegah limpahan dan rahmat pada saat kemugkinan untuk mewujud dan menyempurna pada sesuatu itu telah tersedia. Sederhananya, Allah SWT memberikan sesuatu kepada makhluknya sesuai tingkat kelayakan, potensi yang dimiliki oleh makhluknya, dan tidak pernah mencegah rahmat dan karuniaNya kepada makhluk- makhluk yang layak menerimanya sesuai dengan kapasitas dan kelayakan mereka. Setiap makhluk di dunia ini, terutama manusia memiliki potensi untuk bergerak menuju kepada kesempurnaan. Proses ini memerlukan sejumlah sarana dan prasarana yang diberikan oleh Allah SWT. Jika manusia memanfaatkan sarana yang diberikan oleh Allah, maka jelas dalam linangan rahmat dan karunia-Nya akan Allah tuntun menuju kesempurnaan, begitu juga sebaliknya. Adapun manusia yang tidak memanfaatkan potensinya, tidak menggunakan sarana yang disediakan, maka ia tidak akan bergerak menuju kesempurnaan, malah ke arah yang jauh dari Allah SWT. Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa sesungguhnya Allah SWT melimpahkan rahmat dan karunia-Nya tanpa pilih kepada keseluruhan makhluk yang ada, terutama manusia. Akan tetapi, untuk mencapai kesempurnaan hidup, kedekatan dengan Ilahi, manusialah yang harus memanfaatkan potensi dan sarana yang telah diberikan tersebut.
Diferensiasi, Bukan Diskriminasi
Dalam kehidupan sehari- hari, kita tentu menjumpai sejumlah pertanyaan dan pernyataan ‘keberatan’ tentang segala sesuatu yang ada dalam kehidupan ini. Pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut: Mengapa makhluk diciptakan dalam keadaan berbeda dalam segalanya, dan mengapa sebagiannya ada yang diutamakan dari sebagian yang lain? Mengapa harus ada yang berkulit hitam dan ada yang berkulit putih? Mengapa harus ada yang berparas tampan dan cantik dan ada juga yang berparas jelek? Mengapa harus ada keburukan, penindasan, kebodohan, dan lainnya? Bukankah itu semua meniscayakan ketidakadilan atau kezhaliman yang dilakukan oleh Allah terhadap makhlukNya?
Pertanyaan semacam itu banyak kita jumpai di dalam kehidupan kita, baik di kalangan masyarakat awam sampai intelek. Sadar ataupun tidak, persoalan di atas sedikit banyak telah melahirkan semacam prinsip hidup yang rapuh, mengikis kadar keimanan manusia kepada Allah, dan lebih ekstrimnya kehilangan gairah hidup yang berimbas pada perbuatan- perbuatan yang dilarang oleh agama, seperti bunuh diri, dan sebagainya. Dengan memberikan pemahaman yang utuh dan jelas terhadap permasalahan- permasalahan atau keberatan di atas, kita akan mengetahui jawabannya.
Ketika orang- orang mengajukan keberatan- keberatan tentang keberagaman hidup yang dipandang sebagai sebuah bentuk diskriminasi, sudah tentu mereka punya sebuah kecenderungan bahwa seharusnya Allah SWT menciptakan manusia dalam satu model saja, dalam bentuk, jenis, kapasitas, potensi dan lain sebagainya sehingga manusia satu tidak merasa rendah, apalagi direndahkan oleh yang lainnya dan itulah yang disebut keadilan. Untuk menjawab keberatan- keberatan tersebut, kita bisa mengajukan satu pertanyaan: Apakah dengan diciptakannya makhluk dalam satu bentuk, jenis, kapasitas dan potensi, maka itu meniscayakan keadilan? Jawabannya, tentu tidak. Sulit bagi kita untuk membayangkan seandainya manusia dan makhluk lain diciptakan dalam keadaan yang sama. Tidak akan terjadi interaksi satu sama lain karena semua memiliki kapasitas yang sama, tidak ada pengetahuan yang berkembang karena hidup tidak dinamis, dan sebagainya. Hal ini justru lebih dekat kepada kezaliman ketimbang keadilan.
Untuk memahami rahasia penciptaan Allah atas segenap makhluk-Nya di muka bumi ini, kita harus memegang prinsip bahwa yang ada di alam ini adalah perbedaan, bukan pembedaan. Hukum penciptaan meniscayakan perbedaan (diferensiasi) dan perbedaan merepresentasikan keadilan, sementara pembedaan meniscayakan diskriminasi. Dengan perbedaan, pola hubungan antar manusia dan makhluk yang lain akan terjalin dengan baik, saling mengenal dan melengkapi satu sama lain, saling membutuhkan satu sama lain. Itulah kenapa manusia diciptakan dalam keberagaman, padahal dari jiwa yang satu. Sedangkan pembedaan berarti pilah dan pilih dalam memberikan menilai atau memberikan sesuatu padahal yang menerimanya memiliki hak dan kelayakan yang sama. Misalnya, kita menilai bahwa wanita yang cantik itu adalah wanita yang berkulit putih, berambut panjang, tinggi, dan tolak ukur fisik lainnya sehingga kita memandang keadaan sebaliknya, yakni berkulit hitam, berambut keriting, pendek dan sebagainya adalah tidak cantik dan berimplikasi pada pola pergaulan kita sehari- hari. Ini yang disebut pembedaan atau diskriminasi.
Dengan berpegang pada prinsip di atas, yakni bahwa setiap perbedaan meniscayakan keadilan dan pembedaan meniscayakan ketidakadilan atau diskriminasi, maka sebagai umat muslim kita dapat menyerap serangkaian hikmah penciptaan Allah SWT yang sarat dengan keadilan, kasih sayang dan rahmat dariNya serta jauh dari bentuk- bentuk kedzaliman terhadap makhluknya.
Epilog
Keadilan ilahi telah memunculkan problem dalam aspek keyakinan bagi setiap umat muslim. Siapapun yang dapat melihat dengan mata hati dan pengetahuannya akan keadilan dan hikmah ilahi, maka sudah pasti akan bertambah kokoh keyakinan dalam dirinya dan siapapun yang tidak mampu melihat keadilan ilahi di alam semesta ini akan rapuh keyakinan dalam dirinya, bahkan akan lari dari rahmat dan hidayah Allah yang menghampirinya. Lewat tulisan sederhana ini, semoga dapat menambah pengetahuan kita dalam memahami substansi keadilan ilahi di alam semesta ini sehingga melahirkan bangunan keyakinan yang kokoh dalam diri untuk tetap istiqomah di jalan Allah SWT. Amin ya Robbil’alamin.

Sumber Referensi:
Kedilan Ilahi; Asas Pandangan Dunia Islam (Murtadha Muthahhari)
Share on Google Plus

About PC IMM AR FAKHRUDDIN

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :