Identitas Abnormal Manusia Modern

Oleh: Dede

Tentunya ketika kita melihat gejala – gejala sosial di era modern yang di isi masyarakat modern pula, dibutuhkan berbagai macam metode penelitian, yang terkadang justru tambah membingungkan, karena terkadang manusia tergantikan oleh digit – digit angka. Terlalu banyak pula ilmu – ilmu sosial yang telah banyak kita dapat dari bangku sekolah hingga bangku warung kopi (Blandongan), yang bertujuan memebedah gejala – gejala sosial masyarakat modern. Dan bagi saya sendiri merupakan salah satu bagian anggota masyarakat tradisional, yang masih enjoy buang air besar (BAB) dengan teknik kaki ditekuk (jongkok), dari pada memilih BAB dengan teknik duduk. Ya seperti itulah masyarakat tradisional lebih suka jongkok bersama dari pada saling duduk menududuki satu sama lain. Karena secara kapasitas saya hanya seorang manusia tradisonal maka tulisan saya ini jangan terlalu dijadikan pegangan apalagi dijadikan sebuah kitab suci!.

Lajunya perkembangan zaman kian hari semakin deras meluncur, sampai hingga kini kata pak guru muda di SD dulu menyebutkan zaman modern karena majunya teknologi dan ilmu pengetahuan. Mbah oko (kakek) lebih ekstrim, “sekarang zaman edan” orang – orang suka bicara, senyam – senyum, bahkan menangis sendiri di bilik berukuran 1,5 x1,5 meter (Wartel), anak kecil lebih percaya kepada kotak kecil yang berisi manusia (Televisi) dari pada percaya sama omongan orang tuanya sendiri, jadi hati – hati nanti bisa ketularan gila. Bagi saya sendiri kedua tokoh tersebut tidak bisa sepenuhnya bisa dipercaya, pak guru sering bilang modern itu ditandai dengan majunya teknologi dan penegtahuan, bagaimana bisa dikatakan majunya pengetahuan, pak guru lebih suka memberikan nilai 5 kok dari pada 10? Bagaimana bisa mbah oko bilang sekarang zaman edan, karena yang sering bicara sendiri di bilik berukuran 1,5x1,5 itu ibuku?.

Kini di zaman yang tidak jelas diantara zaman edan atau zaman modern, tidak ada masyarakat modern atau masyarakat gila karena proses zaman tersebut, yang ada hanya manusia gila yang modern dan manusia modern yang gila. Yang pertama, manusia yang dipaksa gila karena harus tergantung pada teknologi dan pengetahuan yang bersifat relative dan tak ada ujung pangkalnya, kehilangan identitas sejarahnya (kehilangan ingatan) dan terjebak pada satu titik porses menjadi manusia. Yang kedua, adalah manusia modern yang gila, manusia yang mengembangkan ilmu pengetahuan dan akhirnya melahirkan teknologi yang berakhir pada pengkultusan teknologi sehingga lupa siapa yang mengendalikan dan siapa yang dikendalikan, siapa apa yang melahirkan dan apa yang dilahirkan. Manusia dikendalikan pengetahuan, atau manusia mengendalikan pengetahuan. Ataukah pengetahuan menghasilkan teknologi atau teknologi menghasilkan pengetahuan.

Lebih dari itu dan kedua–duanya bertemu dalam sebuah benang merah yakni manusia absurd. Manusia absurd bagi Jean Paul Sartre adalah manusia yang penuh kepura–puraan dan selalu bersandiwara ditengah kehidupan sosial. Di kehidupan yang modern kini kepura–puraan bukan lagi pada sandiwara di kehidupan sosial tapi sandiwara kepada penggunaan atau penguasaan teknologi. Menjadi kiyai sekarang cukuplah memakai pakain serba putih ditambah dengan teknologi penutup kepala bernama kopiyah, bila perlu jenggot di toko–toko telah disediakan obat penumbuh bulu, orang–orang disekitar langsung menjuluki anda sebagai kiyai, jangan lupa pula siap–siap lari sekencang–kencangnya kalau anda diteriaki kiyai gadungan yang mengajarkan aliran sesat. Teknologi transportasi dari zaman kafir quraish hingga zaman osama bin laden, dari keledai hingga mobil kijang telah menjadi sebuah identitas sosial penggunanya. Teknologi telah menjadi topeng identitas bagi manusia, dimana identitas manusia yang dipengaruhi moral, estika dan estetika kini dipenuhi oleh teknologi dan dijadikan komoditi kelas sosial yang merubah image penggunaanya.

Bahkan kini teknologi telah menghasilkan sebuah pengetahuan baru, majunya teknologi komunikasi telah merenggut hak buah–buahan segar untuk dimakan, semisal Apel dan Blackberry. Apel dan Blackberry yang dikenal manusia kini bukan lagi sebuah mahluk ciptaan tuhan untuk menjaga ekosistem, tapi sebuah mahluk ciptaan mahluk yang berfungsi sebagai alat komunikasi dan identitas sosial. Mungkin kedepannya manusia akan lupa bagaimana segarnya sebuah apel segar, tapi mengetahui sebarapa canggihnya apel dan Blackberry.

Dari sudut ini pula, bisa kita sebut sebagai timpangnya penerapan teknologi sebagai inovasi kesejarahan umat manusia dengan posisinya sebagai pemenuhan identitas manusia modern, yang terjadi adalah konsumsi berlebihan atas identitas modern. Menurut George Ritzer pemenuhan identitas modern ini ditandai dengan 4 dimensi atau komponen rasionalitas formal. Yang pertama efisiensi, semua hal harus disederhanakan dan disimpelkan, agar tujuan kita mudah dan cepat tercapai, misalkan saja waktu kecil dulu saat lebaran ibuku lebih suka membelikanku pakaian baru yang ukurannya lebih besar, dengan alasan biar tidak beli – beli lagi, nantinya juga pas kok. Memang efisensi lebih dekat dengan istilah pelit dari pada hemat.

Yang kedua predictability (bisa diprediksi), berarti dunia tanpa kejutan, semuanya bisa ditebak. Dimana kita hidup dengan rutinitas yang berulang – ulang tanpa ada perubahan, seolah – olah kita telah memiliki jadwal hidup kita sendiri dan kita tahu apa yang akan kita hadapi nanti. Selain kemajuan teknologi informasi telah membuka wawasan kita terhadap suatu hal diluar kita, semisal saja kita pernah menyaksikan ritual tahunan haji di televisi, sehingga saat kita naik haji kita tidak terlalu kaget dengan keadaan mekah saat kita haji. Hal inilah yang menyebabkan kita terus terjebak pada era modern tanpa mampu beranjak pada era – era berikutnya karena kita telah terninan bobokan sehingga merasa nyaman dan enjoy. Yang ketiga lebih mementingkan kuantitas dari dapa kualitas, yang terjadi kini adalah jumlah telah menjadi sebuah tolak ukur yang semakin akurat untuk memastikan berhasil, sukses tidaknya sebuah tujuan. Semisal saja dalam perekrutan kader IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) terkadang kita terjebak pada sebarapa banyak jumlah kader yang ikut DAD (Darul Arqam Dasar) meskipun hal itu patut pula diapresiasi.Yang keempat penggunaan teknologi nonmanusia untuk teknologi manusia, dimana manusia telah tergantikan perannya oleh teknologi, misalkan saja dalam iklan ketik REG spasi WETON kirim ke 9255, fungsi dukun diambil alih oleh HP yang notabene adalah teknologi komunikasi. Seolah – olah kini kekuatan mistik telah mampu dimiliki oleh teknologi.

Bagi Ritzer rasionalitas seperti tadi adalah bentuk ketidak rasionalitasan dan menghasilkan demistifikasi dan dehumanisasi. Lebih dari pada itu mungkin kini teknologi telah menjadi nyawa bagi manusia untuk terus bisa berlangsung hidup di dunia.Yang jelas kini kemajuan teknologi telah banyak berpengaruh bagi kehidupan manusia, terlepas itu baik dan buruk, bermanfaat tidak bermanfaat, karena nyatanya kita terlahir dari teknologi dan dibesarkan oleh teknologi. Ruh kita sebagai nyawa kehidupan kita semakin tersingkirkan oleh teknologi. Yang jadi pertanyaan kini, apakah kita harus menanngalkan segala teknologi diperadaban ini dan lari kehutan hidup dengan hewan – hewan, meninggalkan kehidupan manusia di peredabaan yang entah gila atau modern ini?

Aku masih ingat segarnya buah apel

“Bunuh diri Sosial” sebagai jalan kembali untuk fitrah

imgnews20100407104730.jpgMungkin bagi masyarakat awam untuk kembali fitrah atau fitri atau dengan bahasa Indonesianya yang penuh keterbatasan kosakata kita sebut Suci. Bukan berarti teknologi dan peradaban masa kini merupakan najis–najis yang telah mengotori secara fisik tubuh manusia, akan tetapi pola pikir manusia kini telah menghambakan diri pada teknologi, seolah–olah teknologilah yang telah memberikan nyawa bagi kita. Sehingga wajar ketika ada anak remaja menenteng Baygon, sambil berkata “pokoknya kalo tidak dibelikan Byson, aku punya baygon!”. Ada pula pemuda yang bersusah payah naik tower jaringan sinyal handphone dan mengancam terjun bebas kalau tidak dibelikan Blackberry, dan akhirnya muncullah polisi dengan menodongkan pistolnya berkata “Turun atau Tidak!” dan akhirnya pemuda itu pun turun.

Kematian kini hanya sekedar sebuah takhayul dalam kehidupan modern ini, bagi manusia kini teknologi merupakan sebuah jimat pelindung diri atau bahkan nyawa di masyarakat modern kini. Manusia kini takut mati karena meraka juga takut hidup pula. Hidup bagi manusia modern bukan terletak pada bagaimana akal dan batin memahami dunia dan teknologi yang tercipta, akan tetapi hiudp bagaimana menguasai dunia dan teknologi. Sampai disini betapa manusia modern telah memberikan Retribusi yang rendah terhadap kehidupan, manakala teknologi telah menjadi berhala – berhala baru, dilanggarnya system – system sosial demi segepok uang dan sebuah seragam jabatan kekuasaan telah menghembuskan kematian bagi nilai – nilai dalam masyarakat.

Di dunia pendidikan modern tentunya kita kenal cara pendaftaran masuk institusi pendidikan dengan dua cara yakni jalur prestasi atau jalur mandiri. Tak ubahnya dunia pendidikan, dunia modern telah menyajika kematian bagi manusia – manusia modern dengan 2 jalur ini. Jalur prestasi dalh jalurnya orang – orang gila kemodernitasan, sehingga kematiannya harus memenuhi syarat – syarat modern, mati dengan teknologi – teknologi canggih.jalur prestasi ini biasanya diambil oleh kaum – kaum High class yang doyan akan teknologi, sehingga mati pun harus karena teknologi dan kemajuan peradaban, ditengah hirukpikuknya kehidupan modern, manusia hanya sekedar melonggarkan kepenatanya membeli music, berjudi, naik haji, minum minuman keras, wanita dll. Bagi manusia yang ingin mati dengan jalur mandiri adalah mereka manusia yang mati karena tidak mampunya mereka menggunakan atau membeli teknologi sehingga ia muak dengan dirinya sendiri yang berbentuk fisik manusia modern dan ingin melihat dirinya sebagai dirinya tanpa emebl – embel atribut manusia modern, sehingga bunuh dirilah untuk mencapai kematian mandirinya, tanpa mengirim email kepada malaikat Isroil.

Bagi meraka yang bunuh diri bukan berarti mengambil Hak Allah, justru bagi mereka yang bunuh diri menyebrang ke wilayah kehidupan yang sejati. Apakah bumi adalah kehidupan yang sejati? ketika seorang miskin menagisi kesengsaraannya oleh ketimpangan kesejahteraan, Apakah bumi adalah kehidupan yang sejati? Ketika orang yang telah diberikan kewenangan untuk memperhatikan perut, nafas, dan pendidikan, malah merampas tanah, mencekik leher dan membodohi, Apakah itu kehidupan namanya? Bagi mereka yang bunuh diri kehidupan dimuka bumi justru telah mati bunuh diri dengan masal karena manusia itu sendiri, sedangkan kematian adalah jalan menuju kehudpan yang hakiki.

Tulisan ini bukan mengajak pembaca untuk melakukan bunuh diri, bukan berarti bunuh diri yang sebenarnya dengan baygon tapi “bunuh diri sosial”. Nabi Muhammad pun pernah melakukan bunuh diri sosial karena jenuh melihat bobroknya kaum Qurasih dengan segala peradabannya. Nabi Muhammad bertafakur, berrefleksi diri mencari ketenangan hati di gua Hiro’. Para ashabul Khafi pun harus mengasingkan diri ke gua karena resah melihat masyarakat yang kacau balau. Bagi sang proklamotor sukarno ia pun harus diasingkan dulu ke digul dan diculik kaum pemuda di Rengas Dengklok untuk merubah Indonesia. Bagaimana dengan KITA? Apakah Organisasi Pergerakan telah menjadi Gua Hiro’ atau Digul atau bahkan Rengas Dengklok bagi KITA? Ataukah KITA hanya akan menjadi kaum Qurasih atau bahkan menjadi kaum Inlander baru?


Share on Google Plus

About PC IMM AR FAKHRUDDIN

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :