Disorientasi Peran Mahasiswa

Oleh: Imam Mahdi

Mahasiswa sebagai agent of change mengemban beban sosial yang berat. Titel sebagai agent of change terkadang mengharuskanya menjadi leader dalam berbagai ranah kehidupan. Titel ini belakangan tergerus oleh kasus terorisme dan Negara Islam Indonesia. Mahasiswa bergerak bukan atas dorongan dirinya sendiri. Proses menuju humanisasi seperti yang disebutkan oleh Paolo Freire tidak bisa diemplementasikan sebagaimana mestinya.
Mahasiswa sebagai manusia terdidik tidak mengalami proses pendidikan sesuai dengan ekspektasi masyarakat. Keinginan orang tua, pemuka agama, dan tokoh masyarakat mahasiswa menjadi barometer akan pentingnya arti pendidikan. Akan tetapi akhir-akhir ini mahasiswa malah menjadi subyek dalam melakukan tindak anarkis yang dimotori oleh politikus, mahasiswa menjadi agent of terrorism, mahasiswa bergerak linier menjadi generasi hedonisme. Kesadaran diri sebagai orang terdidik telah hilang dalam dirinya.
Kemampuan mahasiswapun dipertanyakan oleh para pengusaha dan pengguna jasa. Kepribadian seoarang mahasiswa tidak mengalami upgrading, sehingga berdirilah lembaga pengembangan diri yang sebenarnya jika disadari di dalam kampus berbagai organisasi siap menampung dan mempermak mahasiswa menjadi seoarang yang berkepribadian. Proses pengembangan diri tidak bisa didapatkan secara instan, perlu waktu panjang untuk mendapatkanya.

Marjinalisasi kampus dari masyarakat
Kampus menjadi tempat mahasiswa mendapatkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang langsung bisa ditransformasikan kepada masyarakat. Sehingga masyarakat secara langsung akan mendapatkan pengetahuan yang luas dari berbagai presfektif ilmu. Hanya saja kampus sekarang beralih fungsi, dari dunia pendidikan menuju dunai bisnis dengan slogan-slogan yang oportunis, sok idealis dan cendrung bertindak seperti kapitalis. Baliho kampus bertebaran di perempatan lampu merah, memparkan kalau kuliah bisa langsung dapat laptop, kuliah langsung dijamin mendapatkan pekerjaan, kuliah menjadikan mahasiswa berbudaya, berakhlak mulia. Slogan yang hanya akan membuat pola pikir orang tua akan pentingnya arti kuliah berubah menjadi arti pentingnya kerja.
Letak kampus sebagai sebuah peradaban ilmu semakin dijauhkan dari masyarakat. Posisi kampus dianggap stategis jika berada di pinggir jalan raya. kita bisa bayangkan kampus dimana-mana dipagari tembok pembatas, masuk kampus harus bayar, pemulung dialarang masuk kampus dan berbagai fenomena yang tidak mencerminkan bahwa kampus adalah peradaban ilmu. Orientasi masyarakat pun pada mahasiswa mengikuti pola pikir kampus “yang penting, bayar mau kuliah mau tidak terserah!” jargon ini beralih pada masyarakat “yang penting kamu bayar kos, mau ngapain terserah”. Inikah pola interaksi antara kampus dan masyarakat?
Peran kontrol masyarakat terhadap kampus tergerus oleh orientasi materi, begitu juga orientasi kampus terhadap mahasiswa. Cerminan sebagai sebuah sistem interaksi sosial berganti dengan interaksi ekonomi. Out put pendidikan kampus juga dinilai dari pekerjaan yang didapatkan mahasiswa setelah kuliah. Sepintas memang benar bahwa hidup ini sepenuhnya harus ditopang oleh ekonomi, akan tetapi jika orientasinya hanya materi maka proses pendidikan akan beralih menjadi dehumanisasi.



Mahasiswa jangan jadi aktivis
Simbol mahasiswa sebagai aktivis kerap kali mempunyai konotasi yang negatif. Aktivis selalu diasumsikan sebagai pemberontak, cinta permusuhan dan tidak punya tatakrama. Alhasil dunia aktivis dicap sebagai pembobrokan etika dan moral. Menjadi aktivis dalam lingkungan kampus juga sering mendapatkan stigma negatif, “kamu sekarang bicara pemerintah bobrok, nanti setelah kamu memimpin juga seperti ini, bukankah mereka yang duduk diatas sana juga berasal dari dunia pergerakan?”. Barangkali ada benarnya jika para elit pemerintahan kebanyakan berasal dari dunia pergerakan, akan tetapi jangan mengeneralisasikan kalau semua aktivis berakhir pada pengkhiatanatan terhadap idealisme.
Aktivis dalam asumsi kampus juga menjadi penghambat jalanya pendidikan, sebab mahasiswa selalu perotes jika uang kuliah dinaikkan, fasilitas minim dan pelayanan seadanya. Padahal jika diruntut lebih dalam maka sebenarnya apa yang disuarakan oleh mahasiswa sesuai dengan apa yang telah dipelajarinya sejak dibangku SD. Hak memperoleh pendidikan yang lakaya telah dipatenkan dalam UUD pasal 31 ayat 1 menjadi bahan ujian dan hafalan peserta didik, sehingga sampai di dunia kampus mahasiswa sadar betul bahwa antara dunia idealetika dan realita tidak sesuai. Pemberontakan batin tersebut kemudian diejawantahkan dalam berbagai bentuk protes.
Sejatinya dunia pergerakan membentuk mahasiswa menjadi aktivis yang berkarakter. Mau dan tetap berusaha untuk mempertahankan kebenaran dalam kondisi termarjinalkan dari lingkunganya. Hal ini membentuk mental untuk menjadi manusia merdeka dengan kebenaran yang diyakininya.

Kampus sarang terorisme dan pencucian otak
Pencucian otak menjadi momok yang mengkhawatirkan bagi orang tua terhadap anaknya. Kasus pencucian otak tidak hanya berakibat buruk pada korban yang rata-rata mahasiswa, juga berakibat buruk pada lingkunganya. Keyakinanya akan sebuah idiologi membuatnya rela melakukan apapun untuk mencapai tujuan dari idiologi tersebut.
Beberapa orang mahasiswa dari perguruan tinggi negeri maupun swasta terlibat dalam aksi terorisme dan korban pencucian otak oleh Negara Islam Indonesia. Para kalangan menilai ini sebagai bukti mahasiswa menjadi obyek karena kondisinya yang masih labil dan dalam proses mencari kebenaran. Mahasiswa yang muncul kepermukaan yang terlibat terorisme dan korban NII memang beberapa orang, akan tetapi diluar sana terdapat ratusan orang yang tidak mau disebutkan namanya, atau malu jika disebutkan. Akan tetapi ini merupakan bukti nyata betapa dangkalnya pengetahuan agama dan betapa lemahnya tingkat keilmuan yang dimiliki mahasiswa.
Konstruksi kampus untuk memuliakan mahasiswa berprestasi berimbas buruk pada pembentukan pondasi kebangsaan yang lemah. Mahasiswa terbentur pada konstruksi IPK yang tinggi, sehingga mahasiswa menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai kognitif semata. Tidak sepenuhnya salah, akan tetapi jika kita lihat lebih dalam maka kita bisa berasumsi bahwa kedangkalan jiwa kebangsaan disebabkan oleh lemahnya dukungan kampus terhadap para aktivis. Sehingga keberadaan aktivis yang tidak terlalu diharapkan oleh kampus menyebabkan apatisme yang berlebihan dari mahasiswa.
Share on Google Plus

About PC IMM AR FAKHRUDDIN

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :