Rokok dan Kemiskinan, Siapa yang salah?


Mungkin ini bukan tulisan ilmiah yang bisa dijadikan acuan sebagai salah satu referensi tulisan dalam jurnal ilmiah atau tugas kuliah. Namun tulisan ini lebih saya tuju kan sebagai ungkapan “kegelian” saya terhadap fenomena masyarakat dan juga rokok.

Saat saya membaca opini dalam Koran kompas edisi sabtu tanggal 21 Juli 2012 dengan judul “Rokok dan Wong Cilik” yang di tulis oleh Badrul Munir yang beprofesi sebagai dokter. Saya merasa sedikit“tergelitik”, sebab apakah ada hubungannya antara kemiskinan serta kebiasaan merokok yang katanya di dominasi oleh “Wong Cilik”  sehingga menciptakan fenomena dimana rokok menjadi barang yang paling laris di Negara ini setalah beras.[1]

Memang tidak bisa kita pungkiri bahwa konsumsi rokok dapar memberikan efek negative terhadap kesehatan kita seperti Impotensi, Kanker, Radang tenggorokan dan masih banyak yang lainnya. Namun pengaruh negative itu pun tidak hanya terjadi pada perokok (aktif maupun pasif). Namun juga kepada petani tembakau seperti Green Tobacco Sickness akibat nikotin basah serta pestisida dengan gejala sesak nafas, pusing, mual, kram perut dan lemah badan.[2] .

Lebih mengerikannya lagi, rokok mengandung lebih dari 4000 zat kimia berbahaya yang dapat di hirup perokok (aktif maupun pasif). Apabila perokok aktif terkena 25%zat kimia yang terdapat pada rokok maka 75% zat kimia lain yang di hembuskan berpotensi untuk dihirup oleh perokok pasif. Dan saat ini jumlah perokok pasif sekitar 97 juta lebih yang mayoritas di dominasi oleh usia dibawah 15 tahun termasuk anak-anak dan juga ibu hamil.[3]

Bagaimana dengan industry rokok? Industri rokok memang secara klise “mempekerjakan” banyak orang dalam produksinya entah itu sebagai buruh atau pun sebagai petani tembakau. Dan apakah hal itu cukup untuk member kesejahteraan bagi seluruh aspek yang “bekerja” didalam industry rokok? Menurut data Badan Pusat Satistik (BPS) tahun 2005, jumlah petani tembakau di Indonesia 1,6 persen, sekitar 0,7 persen dari jumlah tenaga kerja di Indonesia atau sekita 2,2 juta orang namun kesejahteraan petani tembakau sangat rendah. Buruh pabrik rokok yang bekerja sekitar 7-8 jam perhari dengan rata-rata upah hanya sekitar 47 persen dari upah buruh nasional. Bahkan upah buruk rokok paling rendah setelah buruh coklat, hanya separuh dari upah buruh tebu, dan jauh di bawah upah buruh teh, kopi dan padi. Dan lebih menyedihkan lagi 68 persen buruh tersebut menghabiskan seperempat upah hariannya untuk membeli rokok.[4]

Pada sisi lain jumlah penjualan rokok dan jumlah perokok aktif semakin tahun semakin bertambah. Menurut riset kesehatan dasar tahun 2010, jumlah perokok aktif di Indonesia sekitar 82 juta jiwa atau sekitar 32 persen penduduk Indonesia, angka ini meningkat bila di bandingkan tahun 2007 (60 juta) dan tahun 1995 (34,5 juta). Lebih miris lagi jumlah perokok dari golongan “wong cilik” lebih besar daripada masyarakat kaya atau sekitar 57 persen dan di dominasi oleh orang yang berada di pedesaan dan tamatan SD. Menurut data majalah Forbes pengusaha terkaya di Indonesia tahun 2011, peringkat satu dan dua ilaha pemilik PT. Djarum (Rp 127,4 T) dan PT Gudang Garam (Rp 91 T) dan ironisnya sebagian besar pendapatan tersebut merupakan “sumbangan”  dari perokok golongan “wong cilik”[5].

Namun pertanyaan kemudian muncul, Mengapa rokok menjadi sesuatu yang popular di Indonesia? Bagaimana hubungan rokok dengan fenomena kemiskinan di Indonesia? Mengapa Industri rokok tidak mampu memberi kesejahteraan terhadap  petani tembakau dan buruh? Bagaimana peran pemerintah dalam hal ini?

Menakar ke-populeran rokok di Indonesia.

Kita tidak bisa begitu saja melepaskan rokok dengan sejarah negeri ini. Di negeri ini rokok bukan hal baru, namun memiliki sejarah yang panjang serta dapat di katakan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia. Kretek (dari yang klobot hingga yang modern) merupakan satu varian rokok asli Indonesia dimana rokok ini awalnya di konsumsi oleh petani dan tidak di produksi secara masal. Namun hanya untuk konsumsi pribadi yang dibuat dengan system tengwe (linting dewe) dan menggunakan klobotatau kulit jagung sebagai pembungkusnya. Sehingga secara sederhana, “tradisi rokok” dalam hal ini ialah kretek merupakan budaya asli yang berasal dari Indonesia sendiri.

Rokok kretek pun bukan hanya Berjaya di negeri sendiri, melainkan menjadi komoditas eksport yang sangat berharga. Seperti di Amerika misalnya, rokok kretek menciptakan sebuah fenomena baru dimana rokok kretek lebih di sukai dan mampu menjadi primadona menggeser rokok local amerika yang telah go International sekelas Marlboro dan juga dunhill. Dan juga menciptakan sebuah fenomena politik dimana memaksa pemerintah amerika membuat undang-undang untuk melarang rokok kretek beredar di Amerika. Undang-undang yang aneh mengingat amerika merupakan Negara liberal yang menggunakan system ekonomi pasar yang seharusnya tidak ikut campur tangan dalam urusan bisnis, maka dari itu saya menyebutnya sebagai sebuah fenomena.[6]

Rokok yang beredar di Indonesia akhir-akhir ini semakin beragam, bukan hanya kretek namun juga varian rokok dalam bentuk lain. Kita juga memiliki banyak produsen rokok dalam negeri seperti Djarum, Gudang Garam dan lain lain dan tentu saja memiliki kontribusi aktif terhadap perkembangan ekonomi serta infrastruktur di kota asalnya sebut saja kota Kediri dan Kudus. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab mengapa rokok menjadi popular di Indonesia, karna kontribusinya terhadap pembangunan daerah dan juga merupakan produk budaya local dari Indonesia (baca:Kretek). Kemudian muncul paradigma baru dalam masyarakat bahwasanya merokok itu lebih penting dan “terjangkau” dari pada makan sehingga menimbulkan motivasi masyarakat untuk merokok.

Lebih mementingkan rokok di banding makan memang sangat bertentangan dengan paradigma kesehatan. Sehingga menjadi suatu hal yang lazim rokok menjadi sebuah instrument penting bahkan wajib ada di hampir seluruh (atau mungkin benar-benar seluruh) kegiatan yang diadakan di pedesaan atau kegiatan yang diselenggarakan oleh “wong cilik”. Namun harus kita sadari bersama, pemahaman masyarakat serta prioritas dalam aspek kesehatan oleh masyarakat hanya terjadi dalam kondisi msayarakat di Negara-negara maju. Sehingga dalam masyarakat berkembang perspektif yang muncul bukan perpektif yang menomor satu-kan kesehatan.

 Memang terkesan “aneh” dalam perspektif kesehatan ketika kesehatan tidak menjadi hal yang utama dalam kehidupan. Keterbatasan ekonomi, minimnya fasilitas serta rendahnya jaminan kesehatan di tengah masyarakat, saya rasa menjadi penyebab kunci bagi mengapa masyarakat “menduakan” kesehatan. Sehingga masyarakat rokok menjadi sangat popular di Indonesia bahkan menjadi kebutuhan primer sebagai seorang manusia setelah beras.

Rokok dan Fenomena kemiskinan di Indonesia.

 Kemiskinan di Indonesia menjadi sebuah fenomena social yang jamak terjadi di seluruh pelosok negeri, bahkan tak jarang Indonesia itu di juluki bagai negeri dimana ayam mati di lumbung padi. Sehingga tak mengerankan lagi ketika kita mendengar ada orang meninggal karna kelaparan, bayi lahir kekurangan gizi, anak putus sekolah, meningkatnya jumlah gelandangan dan anak jalanan.

  Namun adakah korelasi antara budaya rokok di Indonesia dan fenomena kemiskinan? Mungkin memang ada, namun saya rasa posisi rokok dalam fenomena kemiskinan di Indonesia bukan sebagai variable inti mengapa kemiskinan menjamur di Indonesia, namun hanya sebagai effect dimana rokok menjadi symbol ketidak mampuan masyarakat terhadap akses untuk mendapatkan pemahaman terhadap kesehatan secara paripurna (bukan hanya kesehatan yang berkaitan dengan rokok) serta akses terhadap jaminan kesehatan.

Dan menurut saya, posisi miss menejemen pemerintah dalam mengorganisir pemerintahan, ketidakmampuan pemerintah dalam memberikan kesejahteraan kepada masyarakat secara kolektif dan rendahnya posisi tawar pemerintah terhadap investasi dan juga perusahaan asing di Indonesia  serta mental Inlander dan juga slave mentality yang dimiliki pemerintah lebih memiliki kontribusi aktif terhadap kemiskinan serta pelemahan ekonomi masyarakat.[7]

Industri Rokok = Kesejahteraan Buruh dan Petani?

Dengan tingginya konsumsi rokok nasional bahkan internasional, rokok menjadi salah satu komoditas yang potensial sebagai salah satu aspek penguatan ekonomi. Namun mengapa rokok hingga hari ini tidak mampu memberi kesejahteraan bagi buruh dan juga petani tembakau? Ada dua hal yang harus kita fahami akan realita yang terjadi di Indonesia sekarang ini, yaitu pertama minimnya modal dalam negeri sehingga memunculkan motivasi untuk mencari dan menjual saham perusahaan rokok local terhadap asing dan juga lemahnya posisi tawar pemerintah dalam mengatur serta mengawasi perusahaan rokok tersebut (yang hari ini ternyata mayoritas sahamnya dimiliki asing).

Modal asing merupakan stimulant yang baik untuk pengembangan usaha dan industry. Namun yang terjadi hari ini modal asing menjadi momok bagi negeri ini sebab karna Investasi asing tersebut menyebabkan tenaga kerja local hanya sebagai pekerja kasar di bawah tenaga ahli asing dan juga investasi asing itu sepenuhnya hanya berorientasi pada keuntungan semata.

Namun harus kita sadari bersama, dengan adanya modal asing tersebut secara teoritis kita harus menerima untuk di dikte oleh pemiliki modal dan menempatkan pekerja local hanya sebagai kuli kasar. Dan hanya akan memberikan keuntungan pada pemiliki modal saja serta menjadi cengkraman yang sangat nyata bagi pekerja local kita.

Zain maulana membagi Investasi asing menjadi dua asumsi pokok. Yaitu pertama, investasi itu bukan hanya sekedar aliran uang saja melainkan sebuah paket model jangka panjang sehingga terjadinya transfer keahlian, teknologi serta menejemen yang memeang sangat di butuhkan Negara berkembang untuk melakukan pembangunan yang berkelanjutan dan mengurangi jumlah kemiskinan. Kedua yaitu kemiskinan yang di artikan ketidak mampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhna dasarnya, sehingga investasi merupakan jalan keluar yang menarik.[8]
Investasi pun memiliki 2 bentuk yaitu “GreenField” yang berarti pembangunan fasilitas baru dan “BrownField” yang berarti akuisisi dan penggabungan yang melalui pembelian asset perusahaan oleh investasi asing.[9]

Namun dalam realita yang terjadi sebenarnya. Investasi dalam jumlah besar hanya terjadi dalam Negara-negara maju. Sehingga jumalah investasi asing kepada Negara berkembang sangat kecil. Sehingga menyebabkan sebuah kondisi dimana investasi Negara berkembang hanya sebagai bentuk proses mekanisme ekspansi modal serta pasar bagi Negara-negara industry maju[10]. Sehingga dengan asumsi tersebut posisi pekerja local hanya sebagai buruh dengan upah murah dan petani tembakau hanya sebagai supplier bahan produksi mentah yang murah.

 Kemudian belum lagi lemahnya pemerintah dalam hal mengatur hal-hal yang berkaitan dengan investasi asing, ketenaga kerjaan serta kesejahteraan social masyarakat dan pegawai. Amin rais sering menyebut bahwa pemimpin Negara kita ini bermental Inlander [11]. Sehingga menyebabkan lemahnya control pemerintah terhadap investasi asing.

Bung hatta menempatkan Investasi asing sebagai salah satu bentuk permodalan dalam urutan ketiga setelah modal nasional dan utang luar negeri.hal tersebut sangat masuk akal sebab dengan adanya investasi asing, Negara tidak lagi memiliki keleluasaan untuk mengelola aliran dana tersebut serta belum lagi dengan pekerja kita yang hanya akan menjadi buruh kasar.[12]

Jadi tidak mengherankan apabila dengan adanya investasi asing, perkembangan industry rokok nasional kita berkembang namun berbanding terbalik dengan kesejahteraan kaum buruh serta petani kita. Sungguh ironi memang Negara merdeka dengan rakyat yang terjajah.

Peran pemerintah

Revrisond baswir memberikan beberapa solusi yang bisa pemerintah lakukan mengingat pentingnya peran pemerintah dalam hal mengentaskan kemiskinan yang sedang di alami bangsa ini. Solusi tersebut antara lain, Pertama, Menyusun arsitektur tata kelola keuangan Negara yang baik. Kedua, Melakukan renegosiasi dengan pihak asing. Ketiga, Melindungi serta memajukan hak-hak dasar pekerja serta meningkatkan partisipasi mereka dalam tata kelola perusahaan.[13].

Pertama, Menyusun Arsitektur tata kelola keuangan Negara. Yaitu untuk mencegah korupsi, meningkatkan meningkatkan kapasitas keuangan daerah, memastikan pemanfaatan belanja pemerintah untuk kesejahteraan rakya. Dan juga menghapus dana-dana non budjeter di seluruh instansi sehingga dapat mengurangi jumlah korupsi serta mengetahui jumlah pemasukan serta pengeluaran daerah secara riil.[14]

Kedua, melakuakan renegosiasi dengan pihak asing di setiap bentuk investasi sehingga tidak menjadikan penjajahan terselubung terhadap buruh pekerja serta memberikan kontribusi yang layak bagi masyarakat sekitar serta daerah dan juga buruh pekerja.[15]

Ketiga, Melindungi serta memajukan hak-hak dasar pekerja serta meningkatkan partisipasi mereka dalam tata kelola perusahaan.Sesuai amanat UU pasal 27 ayat 2 UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap rakyat Indonesia tidak hanya berhak mendapatkan pekerjaan namun juga mengdapat kehidupan yang layak sebagai manusia. Hal ini dapat di mulai dengan program kepemilikan saham oleh pekerja (employee stock option program) dan juga mendorong pengusaha untuk mengembangkan pola menejemen partisipatif dalam pengelolaan perusahaan.[16]

Konsumsi rokok yang tinggi oleh msyarakat yang mayoritas orang miskin bukan berarti mereka tidak memahami akan bahaya yang mungkin di timbulkan. Akan tetapi rokok menjadi alat ekspresi kemiskinan dari masyarakat atas keterbatasan mereka terhadap akses kesehatan dan juga menunjukkan kesenjangan kesejahteraan dalam system ekonomi kita.

Saya harapkan bukan hanya judgement terhadap orang yang merokok sebagai seorang “pendosa”. Melainkan lewat program-program riil yang bisa atau mungkin dilakukan sebagai bentuk bantuan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin serta pendampingan sehingga masyarakat mampu terlepas dari belenggu kemiskinan.



[1] Badrul munir dalam OPINI di harian KOMPAS hari sabtu tanggal 21 Juli 2012, dengan judul “rokok dan Wong Cilik”.

[2] Ibid

[3] Ibid

[4] ibid

[5] ibid

[6] Hak setiap individu untuk diperlakukan sama di mata hukum dan kesempatan yang sama dalam berpartisipasi dalam masyarakat atau bersaing di dalam pasar. ( Jill Steans dan Lloyd pettiford dalam buku Hubungan Internasional, Perspektif dan Tema, Pustaka pelajar, Jogjakarta, 2009, cet; pertama, hal;140)

[7] Amien rais. M, Selamatkan Indonesia, Agenda-mendesak Bangsa, PPSK Press, Yogyakarta, 2008,  cet;ekstra, hal;153


[8] Maulana. Zain, Bahaya Investasi dalam buku Jerat Globalisasi neoliberal, ancaman bagi Negara dunia ketiga, Penerbit RIAK, Yogyakarta, 2010, cet;1, hal;27-28

[9] ibid

[10] ibid

[11] Amien rais. M, Selamatkan Indonesia, Agenda-mendesak Bangsa, PPSK Press, Yogyakarta, 2008,  cet;ekstra, hal;138

[12] Revrisond baswir

[13] Baswir. Revrisond. Manifesto Ekonomi Kerakyatan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, cet ; pertama, Hal; 130-140

[14] ibid

[15] ibid

[16] ibid

Share on Google Plus

About PC IMM AR FAKHRUDDIN

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :