Ditengah
kecamuk pembantaian di Palestina, beragam pertanyaan tentu menyerang
kesadaran setiap manusia yang masih memiliki rasa kemanusiaan di dalam
dirinya : kapan semua ini berakhir?. Ya ini adalah pertanyaan
yang akan ditanyakan oleh semua orang, tak peduli apakah ia seorang
Kristen, Muslim, Yahudi (non-Zionis), atau atheis sekalipun, tak
memandang apakah ia seorang Arab, Indonesia, Eropa, (etnis) Yahudi,
selama ia masih memandang dengan kaca mata kemanusiaan. Untuk menjawab
pertanyaan ini, salah satu yang bisa kita lakukan adalah mengintip isi
kepala generasi dari dua kubu yang berseteru, terutama dari pihak
penginvasi. Alasannya jelas, merekalah yang kelak akan menjadi penerus
pemegang kendali negara Israel, kemana arah konflik ini sedikit banyak
dipengaruhi oleh cara mereka melihat diri mereka, orang-orang Palestina,
doktrin the promised land, dan penggunaan kekerasan.
Barangkali hal itulah yang menjadi
motivasi dari seorang peneliti dari London Institute For Economic
Studies bernama Ary Syeraby seperti dikutip Rakhmat Zaenal di dalam
bukunya Makelar Dongeng Holocoust Catatan Perjalanan Dari Dalam. Ary
yang merupakan mantan anggota satuan khusus Anti-Terror di ketentaraan
Israel itu membuat sebuah penelitian dengan sampel 84 anak-anak Israel.
84 anak itu diminta menulis surat imajiner kepada seorang anak Palestina
dengan keyakinan bahwa surat itu memang akan sampai dan dibaca oleh
anak Palestina yang mereka kirimi surat. Hasinya mencengangkan, atau
malah mudah ditebak. Penelitian yang dilakukan ditengah menggeloranya
Intifadah yang telah ‘merepotkan’ Israel semalama 11 bulan itu dimuat di
koran ternama Israel Maarev edisi 26 Agustus 2001 Israel (Zaenal, 2006 : 25). Dan inilah beberapa surat imajiner anak Israel kepada rekan-rekan mereka dari Palestina ;
Seorang gadis kecil berusia 9 tahun
menulis surat kepada seoang bocah Palestina yang dihayalkannya bernama
Muhammad, isi surat tersebut ;
Saya akan menanyaimu tentang sesuatu yang tidak bisa saya pahami. Apakah kamu akan menjawabku? Kenapa kamu selalu terlihat baik-baik dan tampan padahal kalian kelihatan berkulit gelap, rakus, dan berbau? Kenapa kalau saya keluar dari rumah dan mencium bau busuk, saya selalu menoleh dan mendapati bahwa salah satu dari kalian lewat di dekatku?
Seorang bocah Israel mengirim kepada anak Palestina yang juga dibayangkannya bernama Muhammad :
Kepada Muhammad yang berbisa… saya mengharap kamu mati. Shalom untukku, dan tidak untukmu.
Anak Israel yang lain menulis kepada anak Palestina yang direkanya bernama Yaser ;
Wahai Arab, wahai brengsek, dan goblok… kalau saya melihat kamu dekat rumah kami, saya akan meminum darahmu, wahau Yaser.
Surat yang paling memprihatinkan dan
membaut kita merasa kasihan kepada bukan hanya rakyat Palestina tapi
juga anak-anak Israel adalah surat yang ditulis oleh seorang putri
berusia 8 tahun kepada anak Palestina rekaannya yang dibayangkannya juga
berusia sama :
Sharon akan membunuh kalian dan penduduk kampung … dan jari-jari kalian dengan api. Keluarlah dari dekat rumah kami wahai monyet betina. Kenapa kalian tidak kembali ke tempat di mana kalian datang? Kenapa kalian mau mencuri tanah dan rumah kami? Saya persembahkan untukmu gambar ini supaya kamu tahu apa yang akan dilakukan Sharon pada kalian. Ha…ha…ha…
Gambar yang ditunjukkan bocah itu tidak
lain adalah gambar Sharon dengan kedua tangannya membawa dua kepala anak
Palestina yang berlumuran darah.
Mengapa anak-anak Israel itu bisa menulis
surat bernada demikian kepada anak-anak Palestina? Jawabannya mungkin
adalah sistem pendidikan mereka yang memang mengarahkannya demikian.
Nurit Peled-Elhanan Seorang Profesor Bahasa dan Pendidikan dari
Universitas Hebrew pernah melakukan penelitan terhadap materi ajar di
sekolah-sekolah Israel lalu menuliskannya di dalam sebuah buku berjudul Palestine in Israeli Schoolbooks : Idealogy and Propoganda In Education. Di
dalam sebuah wawancara yang diunggah ke situs Youtube, Elhannan
menyampaikan isi bukunya yang terbit November 2011 lalu itu. Ia
menyampulkan bahwa buku-buku teks (textbooks) yang digunakan di
sekolah-sekolah Israel dipenuhi dengan ideologi pro-Israel, dan konten
buku-buku tersebut berperan besar dalam menggiring anak-anak Israel
untuk mengikuti pelayanan militer terhadap negara. Elhanna menganalisa
tampilan dari gambar-gambar, peta, bahkan tata letak buku dan penggunaan
gaya bahasa di dalam buku-buku pelajaran Sejarah, Geografi, dan Kewarga
negaraan. Hasil analisisnya itu menunjukan bagaimana buku-buku tersebut
memarginalisasi orang-orang Palestina, memberikan legitimasi kepada
tindakan-tindakan militer Israel dan memperkuat identitas teritorial
Yahudi-Israel.
Jadi jika kita melihat tindakan-tindakan biadab dari serdadu yang disebut penyanyi Rap Inggris Lowkey sebagai soulless soldiers dari
kesatuan tentara Israel tidaklah mengherankan meskipun memang
mengerikan. Hal tersebut adalah bukti berhasilnya sistem pendidikan di
negara Israel. Dan jika kita bertanya apakah mereka tidak memiliki rasa
kemanusiaan? Jawabannya mungkin bisa ditelusuri pada klasifikasi manusia
menurut Talmud, kaum Yahudi adalah manusia seutuhnya, sedangkan manusia
lain termasuk Arab-Palestina adalah kaum ghoyim. Ghoyim itu
bukan manusia, jadi tidak butuh perlakuan manusiawi, sebagaiamana kita
yang bisa dengan enteng menyembelih ayam potong. Terakhir, tulisan ini
bukannya hendak menyebar rasa benci, sekedar berupaya memberkan jawaban
terhadap pertanyaan tadi ; sampai kapan semua pembantaian itu berlangsung? Tampaknya jawabannya adalah keberhasilan sistem pendidikan Israel mewariskan semangat semboyan Manachem Begin “aku berperang maka aku ada” maka petaka ini akan terus berlangsung hingga Allah Yang Maha Adil memenangkan pihak yang berhak menang.
Wawancara Elhanna dapat dilihat di :
0 komentar :
Posting Komentar