Buat Apa "Pahlawan"

Berbilang hari sudah berlalu sejak hari pahlawan. Namun saya “baru” memiliki niatan untuk menulis perasaan saya akan “pahlawan”. Bukan karna saya tidak ingin mengapreisasi perjuangan para pahlawan namun hanya sekedar mengajak menilik kembali apa itu makna pahlawan.

Tahun ini buat saya suatu tahun yang special. Dimana kedua proklamator kita akhirnya mendapat gelar pahlawan. Suatu hal yang patut di acungi jempol untuk Negara kita, sepasang anak muda yang dengan lantang menyuarakan kemerdekaan bangsa ini, namun setelah beberapa dekade kematianya baru mendapat gelar pahlawan atau diakui sebagai seorang pahlawan.

Mungkin rancu untuk pikiran saya, dimana saya tidak mampu mengartikan pahlawan secara gamblang menggunakan logika bangsa ini. Kita bukan berbicara pada bagaimana pahlawan itu di perlakukan (untuk yang masih hidup) namun juga bagaimana seseorang itu di anggap pahlawan.

Indonesia merintis kemerdekaannya, merdeka dan mempertahankan kemerdekaannya, tentu saja bukan hal yang sederhana, 3 fase dimana sebelum, saat dan paska kemerdekaan tersebut selalu dan pasti anak bangsa mengukir nama mereka dengan tinta emas untuk bangsa ini.

Namun mengapa kata “pahlawan” seolah olah tidak begitu saja mereka dapatkan? Mungkin bukan itu tujuan mereka berjuang. Namun satu hal yang pasti mereka hanya ingin kedaulatan bangsa. Berjuangnya mereka bukan untuk disebut pahlawan, namun untuk kesetaraan bangsa, untuk kemandirian bangsa, kedaulatan bangsa dan kedaulatan rakyatnya.

Ribuan orang bahkan jutaan orang memiliki definisi terkait kata pahlawan, dalam benak mereka terkait apa itu pahlawan dan bagaimana harus menghargainya. Sebagian orang mengagungkan namanya layaknya Tuhan, sebagian lain mengheningkan cipta untuk merefleksikan semangat perjuangan dan sebagian lain menggunakan materi untuk menghargai mereka.

Namun apa itu cukup? Dalam cerita panjang perjuangan negeri kita, tidak ada seorang pun yang berharap disbnut sebagai pahlawan. Tulus dan ikhlas mereka menenteng senjata hanya untuk kata “merdeka” bukan kata pahlawan, bukan hanya untuk mereka yang meneteng senjata saja yang berjuang, namun mereka yang berdiri di mimbar diskusi, menulis dalam Koran perjuangan, berpidato di depan umum untuk meneriakan kata merdeka.

Indonesia tidak akan merdeka tanpa adanya sudirman yang dengan penyakitnya melakukan gerilya dengan menenteng senapan, namun Indonesia pun tidak akan merdeka tanpa adanya cokro aminoto, hatta, natsir dan sukarno yang bahkan mungkin tidak tahu bagaimana cara menggunakan senapan, namun mereka tak kalah lihai dengan sudirman menggunakan lidah dan ujung penanya sebagai senapan yang tajam.

Namun bukan definisi pahlawan serta pengakuan pemerintah terhadap tokoh yang dianggap sebagai pahlawan yang ingin saya sampaikan disini. Namun bagaimana para pahlawan tersebut memiliki semangat, keikhlasan serta totalitas dalam berjuang? Untuk apa mereka berjuang, memilih jalan yang penuh kerikil dan curam dari pada duduk di zona nyaman menjadi antek-antek imperial?

Terkadang kita lupa, ketika kita berbicara pahlawan, kita hanya berbicara gelar, atau sebutan saja. Namun kita jarang berbincang pada tataran esensi perjuangannya, mengapa mereka berjuang, semangat serta tujuan mereka berjuang.

Mungkin sederhana saja, ketika kita dengan sederhana menganalisa pekik “merdeka” yang slalu mereka teriakkan ketika berjuang, itulah tujuan mereka, merdeka. Namun merdeka yang seperti apa yang membuat seseorang rela berkorban apa saja bahkan nyawanya serta meninggalkan apa saja dalam perjuangannya, apakah sekedar deklarasi kemerdekaan dalam proklamasi tahun 45, atau dengan pengakuan serta berdirinya Negara secara defacto dan dejure??

Ketika iya, maka selesailah perjuangan kita. Ketika yang diperjuangkan mereka hanya dalam bentuk symbol semu nan keropos. Merah putih telah berkibar, garuda telah mengepakkan sayapnya. Namun apakah sesederhana itu?

Mungkin sejenak kita menilik pada muqaddimah UUD 45 serta pada pancasila. Disana tercantum 5 hal pokok yang menjadi landasan bangsa ini. Ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaanan dalam permusyawaratan  perwakilan, keadilan social bagi seluruh Indonesia. Inilah isi dari pancasila.

Kalau mungkin kita berfikir sejenak, bukan hanya “merdeka” yang semu yang pahlawan kita perjuangkan, namun juga teraplikasikannnya nilai-nialai yang ada dalam UUD 45 serta pancasila tersebut. Sehingga makna pahlawan bukan hanya para pemegang senjata saja, melainkan seluruh elemen yang berjuang pra kemerdekaan, zaman kemerdekaan dan juga pasca kemerdekaan.

Ketuhanan yang maha esa, mungkin dapat kita artikan sebagai nilai dimana bangsa ini memiliki nilai religiusitas yang bukan hanya terjebak dalam pedebatan dialektika materi, namun memiliki teropong yang lebih jauh sehingga nilai agama bukan hanya berdiri sebagai doktrin belaka namun juga menjadikan nilai yang teraplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Kebebasan dalam beragama dan melaksanakan ibadah juga menjadi hal yang kunci disini, toleransi dan saling memahami antar umat beragama menjadi suatu yang mutlak karna tidak satu agama pun yang mengajarkan kekerasan dan penindasan.

Kemanusiaan yang adil dan beradab, memang sedikit susah ketika kita berusaha medefinisikan hal ini. Namun adil disini memiliki dimensi kemanusiaan, dimana harkat dan martabat, pengakuan sebagai manusia, serta hak hidup manusia tersebut di jamin. Sehingga tidak ada lagi manusia yang hidup dalam kondisi seperti binatang. Dan dalam dimensi beradab pun dapat kita definisikan sebagai pengaplikasian nilai kemanusiaan, ketuhanaan dan local wisdom dalam kehidupan sehari-hari serta mampu menciptakan sebuah budaya dan peradaban yang indah yang dibangun diatas keragaman (diversity) budaya di Indonesia.

Persatuan Indonesia tentu saja merujuk akan penyatuan visi serta tujuan arah bangsa dan juga fisik untuk bersama sama membangun bangsa. Disini tentu komitmen antar budaya yang ada di Indonesia dalam bersama-sama menjaga kesatuan serta mebangun bersama bangsa ini menjadi sangat penting. Bhinneka tunggal ika bukan hanya berdiri sebagai sebuah slogan belaka namun sebagai sebuah manifestasi dimana keragaman tadi mampu disatukan dalam suatu peradaban yang di bangun oleh bangsa yang besar ini.

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaanan dalam permusyawaratan perwakilan disni mungkin dapat kita maknai dengan posisi legislative, eksekuti dan yudikatif dalam hal pengelolaan Negara atas nama rakyat. sosial kontrak yang terjadi antara rakyat dan perwakilannya untuk mengelola Negara tentu menjadi hal penting sebab, merakalah yang menjadi penyalur lidah masyarakat terkait pemenuhan kebutuhan rakyat serta kesejahteraan bagi rakyat sendiri.
Terakhir ialah keadilan social bagi seluruh Indonesia. Tentu saja tidak serta merta kita sebutkan keadilan social itu seperti system ekonomi sosialis apa lagi komunis namun bagaimana terselenggaranya demokrasi ekonomi, hatta dalam buku revrisond  baswir (2009) disebutkan bahwa  produksi itu di kerjakan oleh semua golongan masyarakat serta di bawah seorang pimpinan dan kemakmuran masyarakatlah yang menjadi tujuan utama bukan keuntungan pribadi dan hal inilah yang menjadi landasan berdirinya koperasi di Indonesia.

Saya disni tidak ingin berbicara terkait makna atau definisi pahlawan serta siapa-siapa yang berhak mendapat gelar pahlawan atau tidak dan apakah pahlawan itu di berikan kepada orang yang memang sudah meninggal atau tidak. Akan tetapi saya ingin kita mereflesikan diri terkait esensi perjuangan para pahlawan.
Ketika kita sekarang sibuk berdebat akan makna pahlawan, tapi hampir sama sekali kita melupakan esensi perjuangan pahlawan itu sendiri. Kita bagai hidup dalam uforia patriotisme bahwa pahlawan itu hanya ada ketika perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan saja.  Bukan pada esensi kenapa kemerdekaan itu mereka perjuangkan.

Mungkin sukarno dan hatta akan menarik kembali proklamasi yang mereka teriakkan ketika melihat para pemimpin kita hari ini hanya meributkan terkait gelar kepahlawanan saja, namun dengan jelas melupakan alasan kenapa para pahlawan itu berjuang.

Musso tahun 1948 dalam pidatonya di madiun berkata “ 3 tahun sudah revolusi ini berjalan, namun rakyat tidak bisa membedakan dimana dia hidup,”. Walau ini merupakan pidato politik musso untuk meraih suara dalam pemilu Indonesia pertama, namun kita harus faham akan apa yang dia katakan, bahwa rakyat tidak mampu membedakan masa apa dia hidup, antara masa penjajahan ataukah masa merdeka dimana bangsa ini berdaulat.

Mungkin kita butuh merenung sejenak sebelum kita kembali kepada pelukan gemerlapnya dunia. Buat apa gelar pahlawn itu kita berikan ketika kita tidak mampu memahami akan makna perjuangan mereka, kemiskinan  merajalela, kelaparan dimana-mana, toleransi beragama yang rendah, kondisi masyarakat yang anarkis, pemberontakan masih saja terjadi, parlemen, eksekutif dan lembaga hukum yang korup dan semakin korup serta kesenjangan antar kaum buruh dan pemilik modal serta banyak lagi lainnya. Itulah negeri kita, kedaulatan yang semu berdiri dibawah kibaran merah putih yang keropos, tanpa adanya kedaulatan rakyat dan dihadapan imperialism gaya baru.

Akhir kata, sukarno pernah mengingatkan kita, bahwa perjuangan mereka ialah perjuangan yang mudah karna melawan bangsa lainnya. Namun perjuangan kita hari ini lebih berat sebab kita harus berperang melawan saudara bangsa sendiri. Hidup kedaulatan rakyat.
MERDEKA!!!!


Jogjakarta, 14 november 2012
Yazfi Alam Alhaq
Kabid hikmah
IMM cabang AR Fachrudin kota Yogyakarta
Share on Google Plus

About PC IMM AR FAKHRUDDIN

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :