“Bagaimana mungkin sebuah pohon bisa tumbuh tanpa akar?!” Tanya
itu diucapkan Syed Nauquib al-Attas dengan agak emosional ; ada
gundah, ada gemas, dan semacam ketidak relaan pada tumpukan warisan
berharga yang tersiakan. “apa lagi tumbuh menjadi pohon yang tinggi
kukuh menjulang?” lanjutnya sang filosof berdarah Bani Hasyim kelahiran
Bogor itu.
Al-Attas tidak sedang berbicara tentang tumbuh-tumbuhan, ia bukan
seorang ahli botani. Beliau sedang berbicara tentang peradaban. Bagi
al-Attas, peradaban Islam itu bagaikan sebuah pohon kebaikan. As-syajarah ath-thayyibah, begitulah peradaban Islam diungkapkan dengan metafora yang indah di dalam al-Qur’an surah Ibrahim ayat 24-25 ; Tidakkah
kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang
baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke
langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin
Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya
mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon
yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi;
tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun. (QS Ibrahim [14]: 24-25).
Frasa ‘kalimat yang baik’ pada ayat di atas oleh para mufassir dimaknai kalimat la ilaaha illallah muhammad rasulullah. Kalimat
yang menjadi ikrar ketauhidan setiap muslim. Jadi akar yang kokoh dari
peradaban Islam adalah akidah yang kuat. Akidah yang kokoh itu akan
menggiring ad-din terlaksana dengan baik dan sempurna di dalam wahana al-madinah (kota, bisa juga berarti tempat din dilaksankan), hingga terlahirlah at-tamaddun. Ya, kata ad-din, al-madinah, dan at-tamaddun bagi
al-Attas bukannya hanya kebetulan memiliki akar kata yang sama. Ketiga
kata itu memiliki korelasi makna yang menggambarkan konsep peradaban
Islam. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Hamid Fahmi Zarkasyi, ‘pangeran’
Gontor yang merupakan murid langsung al-Attas ; setiap kata mengandung
makna, stiap makna mengandung konsep, dan setiap konsep merupakan
pancaran dari worldview tertentu. Itulah sebabnya ia sangat
tidak setuju jika “masyarakt madani” disejajarkan dengan istilah “civil
society”, yang pertama jelas konsep yang dipancarkan Islam yang kedua
mengndung ‘racun-racun’ Barat seperti liberalisme tanpa kendali.
Berdasarkan metafora di surah Ibrahim tadi, dan pemahaman mendalam akan makna din. Maka bisa dikatakan bahwa peradaban dimulali dari akar akidah yang menancap mantap di bumi, dengan din yang teraplikasi sempurna oleh masyarakat di suatu al-madinah hingga lahir at-tamaddun yang
seperti ‘pohon yang baik’, cabangnya menjulang ke langit, buahnya harum
nan lezat, menebar manfaat ke setiap jengkal alam. Namun timbul
pertanyaan kini, mengapa berabad sudah pohon tamaddun Islam
seolah layu mati jadi abu? Pertanyaan ini dipadatkan oleh Hamzah Yusuf,
seorang ulama muda dari US, ketika mewawancarai al-Attas. Hamza membuka
wawancaranya dengan pertanyaan “apa sebenarnya masalah umat Islam
menurut Syed?” Seolah telah lama menyiapkan jawaban dari pertanyaan
semacam itu, al-Attas dengan cepat menjawab ; “the problem is lack of adab. Kurangnya adab”
Adab yang dimaksud oleh al-Attas tidak sesempit pengertian ‘adab’ di
dalam kalimat sehari-hari kita, misalnya ‘adab makan’, atau‘adab
berjalan’ yang sering disejajarkan dengan sopan santun atau bahkan
etika. Adab yang dimaksudkan oleh al-Attas adalah ilmu tentang hikmah (wisdom).
Hikmah adalah pengetahun untuk meletakan segala sesuatu di tempat yang
tepat, dalam pengertian ini, hikmah semakna dengan kata adil. Antonim dari tiga serangkai adab-hikmah-adil ini adalah zhalim ; tindakan
gegabah yang tanpa didasari ilmu dan pemikiran mendalam sehingga segala
sesuatu tidak ditempatkan pada tempatnya. Adab akan diperoleh oleh
seseorang yang telah mengethui hakikat sesuatu, sehingga ia tahu jelas
letaknya yang tepat. Namun demikian, tidak semua orang yang telah
berilmu dan mengetahui hakikat bisa memiliki adab. “kadang seseorang
memiliki ilmu tapi tidak memiliki adab” kata al-Attas. Dari sini kita
bisa menebak ke arah mana pendidikan Islam harus dibawa ketika al-Attas
mengetengahkan istilah ta’dib bagi pendidikan Islam sebagai alternatif ta’lim dan tarbiyah yang
sudah umum digunakan. Al-Attas tidak sekedar mengusulkan pergantian
nama, karena dibalik tiap kata ada makna yang menggambarkan suatu konsep
yang terkonstruk di dalam worldview tertentu.
Dengan ta’dib, al-Attas berharap lembaga-lembaga pendidikan Islam mampu menghasilkan orang-orang yang beradab dan mengikis wabah zhalim di
tubuh umat Islam. Salah satu bentuk kezhaliman yang nyata adalah
pandangan sebelah mata kepada warisan intelektual ulama kita. Dalam
wawancarannya dengna Hamza Yusuf, al-Attas mengisahkan pengalamannya
berbicara dengan seorang mentri negara Iraq yang tampaknya termasuk
muslim yang kurang adab.
“Professor, megnapa anda selalu berbiara tentang masa lalu ?” Tanya mentri itu “Masa lalu itu kan telah mati”
“Ah, masa lalu telah mati?” al-Attas menjawab dengan sebuah
pertanyaan retoris. Ia lalu melajutkan “Masa lalu itu hidup, bahkan
hidup dengan penuh vitalisatas. Yang mati justru masa kini. Ambilah
contoh seorang tokoh saja, Ibnu Manzhur pengarang kamus Lisan al-Arab. Dia
itu ulama dari masa lalu, ia hidup pada abad ke-14, tapi lihatlah
karyanya, ia mampu menyusun sebuah kamus Bahasa Arab besar lebih dari 25
jilid dan tetap dianggap sebagai kamus Bahasa Arab paling otoritatif
hingga hari ini” . “Itulah yang dilakukan masa lalu. Sedangkan anda,”
Al-Attas menujuk mentri itu “Anda tidak akan mampu melakukan hal itu.
Bahkan jika anda mengumpulkan banyak orang di dalam sebuah komiti untuk
meyusun kamus serupa”
Al-Attas menganggap pandanagan si mentri itu sebagai sesautu yang
sangat fatal; memandang masa lalu peradaban Islam sebagai bangkai
semata. Memandang Islam telah mati sehingga butuh suatu “pembangkitan”
menjadi sesuatu yang sama sekali baru. Jika memakai paradigma
sekularisasi yang evolutif, mungkin itu sah-sah saja. Namun paradigma
itu tidak cocok diterapkan pada Islam yang telah final ajarannya. Jika
‘pohon’ Islam terlihat lemah dan layu, maka perbaikannya haruslah
bersifat devolusi ; mengembalikan vitalitas akarnya, mengembalikan
vitalitas ad-din dengan memakai perlatan dan metodelogi Islam
sendiri. Memandang warisan Islam sebagai bangakai yang harus
ditinggalkan sama saja memotong akar dari sebuah pohon. Padahal
“Bagaimana mungkin sebuah pohon bisa tumbuh tanpa akar?”. “Apa lagi
tumbuh menjadi pohon yang tinggi kukuh menjulang?”
Wallahu a’lam.....
0 komentar :
Posting Komentar