Sebagian orang mungkin bertanya-tanya
mengapa alam tiba-tiba tenang?, mengapa badai menjelma sepoi lembut?, mengapa guntur
membisu?. Mengapa ombak berhenti menampar lalu mengelus karang? Wanita muda yang terbaring lemah di atas dipan
bangsal kelas rendah itu tidak ikut bertanya-tanya. Ia meyakinkan dirinya bahwa
itu adalah pertanda mereka sedang merayakan kebahagiannya. Dia yakin bahwa alam
memang harus ikut merayakannya, karena semua manusia yang kini mengelilinginya
sepertinya menolak ikut berbahagia, apalagi membaut sebuah perayaan. Wanita muda itu justru bertanya-tanya, mengapa
orang-orang itu bersedih? Mengapa mereka merasa perlu membedaki tangis mereka
dengan senyum setiap bersitatap dengannya? Mengapa mereka yang datang memilih
membaca doa kesedihan ketimbang syukur bahagia?
Hal aneh lain, mereka yang datang
membesuk selalu mencoba meyakinkan bahwa memang tiada yang sempurna di bawah
kolong langit ini. Melalui mata atau lidah mereka berkata bahwa kekurangan
adalah kemutlakan yang pasti ada pada setiap kita. Setiap mendengarkan omongan
seperti itu, perempuan muda itu hanya mengangguk, menghibur mereka ; Membuat
mereka merasa lebih baik, merasa lega karena telah behasil menasehatinya hingga
sadar. Anggukan itu tidak lebih dari hiburan dan mungkin
sopan-santun, karena ia menolak keras tegas untuk percaya bahwa tiada yang
sempurna. Baginya Allah telah menciptakan semuanya dengan sempurna, ya
semuanya, termasuk bayi mungil yang kini lelap dalam peluknya itu.
Sejak bidadari kecilnya itu membuka
pintu alam rahim lewat tangis menggema, sejak seorang perawat dengan mimik yang
ditabah-tabahkan membiarkannya memeluk bidadari itu untuk kali perdana sambil
mencoba menjelaskan sesuatu yang sempat membuatnya sedih, sejak ia melihat
teduh pada wajah murni yang lelap, wanita muda itu tidak lagi percaya pada
sebuah kesepakatan tua umat manusia ; tidak
ada yang sempurna. Ia memilih meyakini hal yang lain ; semua yang diciptakan Allah adalah sempurna manusialah yang
memandangnya dengan indra yang tak sempurna peka, hati yang tidak sempurna
terbuka, pikiran yang tidak sempurna mencerna, lalu manusia dengan serampangan
mengaggap ciptaan-ciptaan itu tidak sempurna.
Alam masih saja damai,
sepoi angin di luar sana mengajak dedaunan berdansa. Wanita itu memilih
menyaksikan keduanya berdansa sebelum menutup matanya rapat. Dalam terpejam,
wanita itu memeluk bidadari kecilnya semakin erat, semakin hangat, rasanya ia
ingin mengembalikan bidadari itu ke dalam aman rahimnya. Dalam terpejam, wanita
itu mencoba melindungi diri dan bidadarinya dari tatap-tatap sedih itu,
tatap-tatap yang tidak akan pernah mengerti atau sekedar mencoba mengerti bahwa
semua yang diciptakan Allah adalah sempurna, mereka lah yang seenaknya menyebut
bidadrinya cacat.
0 komentar :
Posting Komentar