Bagi mereka yang terlanjur terikat oleh sebuah keyakinan yang
berkembang sebelum ia diturunkan, al-Qur’an memang kitab wahyu yang
paling menyebalkan. Dia pengganggu sejati, tidak tanggung-tanggun dia
menampar, dan tamparannya jadi lebih perih lantaran bahasanya nan
puitik yang susuah bahkan mustahil ditandingi. Boleh lah sebagian
kritikus berkicau bahwa kitab suci penutup segala wahyu suci ini hanya
berisi pengulangan-pengulangan yang menjemukan. Kita tidak tahu apakah
orang-orang ini memang pakar syair Arab, tapi yang pasti seorang penyair
padang pasir kawakan al-Walid bin al-Mughirah telah bertekuk lutut
dihadapan keindahan diksi al-Qur’an sambil bersaksi“Ia (al-Qur’an)
berada di atas (semua perkataan) dan tidak ada yang mendinginnya. Apapun
yang berada di bawahnya akan dihancurkannya.” Kini ketika
semuanya harus masuk akal. Banyak orang dengan ugal-ugalan mencemoohnya
tidak rasional. Kita tidak tahu seberapa tinggi IQ orang-orang itu, tapi
yang pasti seorang Profesor matematika yang karena didorong oleh
semangat rasionalistiknya menjadi atheis sejak muda telah mengumumkan
kekalahannya dari al-Qur’an. Jeffrey Lang, sang profesor, menggambarkan
pengalamannya ‘membaca’ al-Qur’an sebagai the struggle to surrender, melawan habis-habisan untuk tunduk bertekuk takluk.
Sungguh, sekali lagi, al-Qur’an memang menyebalkan dan menggemaskan.
Bayangkan saja, setelah dengan terang-terangan menyatakan yang lain
salah, mengklaim tanpa ragu bahwa ia terpelihara langsung oleh Allah,
dia lalu mengumumkan sebuah tantangan yang langusng menohok ego para
pengingkar ; Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran
yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat
(saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain
Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (Al-Baqara: 23). Lalu
ketika tantangannnya ini tidak sanggup dipenuhi, al-Qur’an dengan penuh
percaya diri memberikan keringanan bagi pengingkar ; Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar. (At-Tur: 34). Kita
tahu sepanjang sejarah belum ada penyair, pemikir, atau siapapun yang
sanggup meladeni tantangan ini. Sejauh ini yang sanggup dilakukan oleh
para pengingkar paling canggih sekalipun, misalnya gerombolan orientalis
itu, adalah mengacak-acak isi al-Qur’an, menggugat kodifikasi Utsman,
mengigau bahwa kandungan al-Qur’an dipinjam dari ajaran Yahudi, konsep
hukum Romawi, dan lainnya. Namun sialnya dari rahim peradaban Islam
ternyata masih saja lahir ulama-ulama yang sanggup membungkam
mulut-mulut mereka dengan pertolongan Allah tentu saja. Adapaun para
pengingkar yang kurang canggih, cara yang digunakannya sungguh norak
; misalnya mengumumkan pada dunia bahwa ia akan membakar mushaf. Usaha
yang tidak menunjukan apapun selain demonstrasi rasa putus asa nan
vulgar.
Aksi paling mengusik kenyamanan yang dilakukan al-Qur’an adalah
menjungkir balikan cara manusia melihat dan menafsirkan segala sesuatu.
Fisik maupun metafisik. Al-Attas dalam salah satu kuliahnya memberikan
contoh yang menarik yaitu kalimat puitis al-Qur’an tentang gunung ;
Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir. (al-Hasyr : 20)
Rasa perih dari tamparan al-Qur’an pada pola pandang-tafsir manusia terhadap realitas yang disematkan Allah ta’ala di
dalan ayat puitis itu dapat dipahami jika kita kembali melihat dunia
pada masa diturunkannya al-Qur’an. Kitab ini diwahyukan pada abad ke 6
Masehi, pada kurun abad itu beragam kepercayaan yang menuntun manusia
meliahat dan menafsirkan realitas telah terbina dengan mapan. Salah satu
unsur yang ternyata ada pada hampir tiap kepercayaan dan peradaban
ketika itu (hingga kini bahkan) adalah konsep tentang Gunung Suci.
Alasan penyucian terhadap gunung-gungung itu bermacam-macam. Ada yang
dipercaya sebagai singgasana atau tempat tinggal para dewa seperti
Olimpus di Yunani tempat bersemayamnya Zeus dan jajarannya, Fuji di
Jepang dimana Danichi Nyorai dan tetangganya Sangen-Sama bermukim dan
menunggu sekitar 200.000 peziarah tiap tahunnya. Gungung Kailash di
Tibet bahkan dipercaya sebagai rumah dewa-dewa dari lima agama Timur.
Penganut Jain, Hindu, Buddha, Bon, dan Ayyavazhi akan tawaf
mengelilingi gunung ini dalam ritual penghapus dosa bernama Kora.
Kadang juga gunung disucikan karena ia dianggap pusat dunia atau tempat
yang paling dekat dengan khayangan, Mahameru di India yang puncaknya
berpindah secara gaib menjadi Semeru di Jawa adalah contohnya, tentu
saja Everest yang dijuluki atap dunia juga demikian. Ada banyak lagi
gunung yang disucikan dengan bermacam alasan, sebutlah Uluru di
Australia, Nebo di Yordania, Machu Pichu nan eksotis di Peru, Gunung
Agung di Bali bahkan Gunung Salib Suci di Colorado yang disucika hanya
karena bentuk padang saljunya menyerupai salib.
Gunung memang memiliki pesona magis yang mampu menyentuh salah satu
naluri paling tua atau fitrah dari manusia, naluri untuk menyucikan
sesuatu yang dianggap agung. Bayangkan manusia-manusia pencari kebenaran
yang merasa kecil didepan kebesaran gunung yang menjulang menyentuh
langit. Mereka tercekam takut oleh misteri yang mengelilingi kaki hingga
puncak gunung, terpesona pada indahnya. Pada akhirnya merekapun
bertekuk lutut dan menganggapnya sakral. Kesakralan ini lalu diwariskan
dari generasi ke generasi melintas waktu berabad-abad hingga
penyuciannya semakin kental dan pekat. Ketika manusia dari hampir
seluruh peradaban dan kepercayaan terpesona oleh kesucian gunung-gunung
tiba-tiba datanglah sebuah kitab yang mengklaim dengan keyakinan penuh
bahwa ia dengan seluruh kesuciannya mampu menghancur leburkan gunung
apapun jika ia diwahyukan Tuhan kepada sebuah gunung!
Mengapa gunung bisa hancur? Di dalam Tafsir al-Jalalayni, Imam
Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi menerangkan, jika
saja sebuah gunung diberikan akal lalu al-Qur’an diwahyukan kepadanya
untuk ia pikirkan, maka gunung akan hancur lebur menyerah ketika ia
sampai pada sebuah konklusi yang membuatnya takut kepada Allah, min khasyyatillah.
Seolah-olah al-Quran hendak berkata “wahai manusia, kalian memiliki
potensi yang sungguh besar bernama akal, potensi itu jika kalian gunakan
dengan petunjuk wahyu Allah untuk memikirkan realitas penciptaan maka
kalian akan sampai pada kesimpulan akan adanya Sang Pencipta Yang Agung.
Sang Pencipta yang pantas kalian takuti, jadikan sandaran harap, dan
berikan pengabdian serta cinta. Potensi itu bahkan tidak bisa ditanggung
oleh gunung-gunung, dan kalian mampu untuk itu. Maka berpikirlah dengan
petunjuk wahyu, niscaya kalian lebih mulia dari gunung manapun.” Hal
ini mendapatkan penegasan eksplisit di akhir ayat “Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.” (al-Hasyr : 20)
Pesan ayat ini sebenarnya sebuah pembalikan total atas cara manusia
melihat dan menafsrikan realitas. Kesucian dikembalikan kepada yang
memang patut yakni Allah ta’ala, sedangkan gunung-gunung
dibebaskan dari ‘pesona sakralnya’. Disini al-Qur’an beririsan dengan
poin pertama mimpi sekularisasi ala Weber ; disentcantment of nature. Hanya saja akal membawa Weber dan konco-konconya
melangkah terlalu jauh, mereka bertekad membebaskan alam dari ‘pesona
sakral’ secara total bahkan dari Allah sekalipun. Di sisi lain mereka
yang terlibat penyucian terhadap gunung-gunung atau apapun juga dibawa
oleh akalnya mistiknya pada titik ekstrim yang lain, sehingga segala
sesuatu yang dianggap agung akan dituhankan. Begitulah jika akal tidak
tidak diiringi wahyu. Wahyu memang berfungsi sebagai pembimbing akal dan
dalam beberapa hal untuk mejawab hal-hal yang tidak bisa dijangkau
olehnya, seperti perbendaharaan ilmu gaib. Maka sebenarnya al-Qur’an
tidak akan menampar manusia jika mereka tidak melampaui batas, sikap
melampaui batas memang salah satu yang paling dikecam al-Qur’an.
Olehnya, kita tidak akan heran jika kini muncul orang-orang Islam yang
mempertanyakan al-Qur’an mereka sendiri. Hal itu jelas karena mereka
merasa tertampar, atau setidaknya takut ditampar sebab mereka telah
atau berniat untuk bebas sebebas bebasnya tiada batas, yang dalam bahasa
londo disebut liberte
0 komentar :
Posting Komentar