Seabad
yang lalu seorang Kiyai Muda membaut Kauman geger, ide-idenya yang
dianggap terlalu baru telah menjadi buah bibir yang pahit di kalangan
ulama-ulama senior. Awalnya di sekitar kesultanan Ngayogyakarta dan
belakangan seluruh Jawa bahkan ke pulau-pulai lain di gugus Nusantara.
Dialah Kiyai Haji Ahmad Dahlan, sang pendiri Muhammadiyah. Dapat
dipahami jika ide-ide yang dikembangkannya terutama setelah hajinya yang
kedua di sekitar tahun 1903 mendapatkan resistensi dari beberapa ulama
lain. Pasalnya pemikiran beliau yang terbuka membuatnya menyerap,
mengapresiasi dan melokalkan ide-ide pembaharuan Islam yang ketika itu
menggeliat di Timur Tengah namun masih banyak medapat penolakan.
Pemikiran-pemikiran dari tokoh seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin
al-Afghani atau Rashid Ridha memberinya inspirasi untuk membuka
cakrawala lebih luas, menerima hal-hal baru yang tidak mungkin disangkal
adalah produk kemajuan teknologi Barat-kaum penjajah itu- untuk
kemajuan Islam. Di sisi lain ide-ide purifikasi yang digelorkan oleh
Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai kelanjutan dari usaha Ibnu Taimiyah
telah memberikan corak puritan pada perkumpulan yang digagasnya sehingga
sejumlah tradisi kamu muslimin di Nusantara yang dianggap telah
tercemar bid’ah, khurafat, atau bahkan syirik harus dibersihkan.
Meskipun corak puritan Muhammadiyah telah memiliki distingis sendiri
sehingga menjadi salafisme moderat. Tak pelak lagi, paduan dua corak
ini telah menjadikan Muhammadiyah menjadi kaum “lain” ketika itu. Namun
keadaan asing itu tidak berlangsung lama, Muhammadiyah kemudian tampil
menjadi salah satu gerbong perjuangan bangsa, menjadi “pabrik” lahirnya
pejuang-pejuang tangguh. Dari masa pra-kemerdekaan hingga menjadi
pengawal bergulirnya reformasi.
Kini seabad telah berlalu, Muhammadiyah
telah diterima secara luas dan ikut berkontribusi bagi kemajuan bangsa
dan ummat. Saatnya bagi ormas besar ini untuk mengambil nafas,
mengumpulkan modal intelektual untuk menyongsong abad kedua.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah semua instumen perjuangan dari
abad pertama akan ditinggalkan? Adakah instrumen filosofis atau praksis
yang harus tetap dipertahankan? Menurut hemat penulis, ada banyak
instrumen filosofis yang harus tetap dipertahankan dan dijadikan acuan
dalam perjuangan abad kedua ini, salah satunya adalah konsep ijtihad di
dalam manhaj Muhammadiyah yang khas. Konsepsi tentang ijtihad memegang
peranan penting sebagai kompas perjalanan kaum muslimin. Tengoklah dalam
sejarah misalnya, ketika kegiatan berijtihad dalam menanggapi kemajuan
zaman masih semarak, peradaban Islam maju pesat, mulai dari ilmu fikih
hingga ilmu-ilmu lainnya. Muncul banyak ulama mujtahid yang cemerlang.
Belakangan ketika makna ijtihad mulai diperkecil dengan direduksinya
ruang lingkup ijtihad hanya di dalam produk hukum masing-masing madzhab,
maka suasana kemunduran dan gejala fanatisme mulai terasa. Puncaknya
ketika sekitar abad keempat Hijriyah muncul wacana penutupan pintu
ijtihad. Sejak masa itu periode kemandegan intelektual terjadi di dunia
Islam, meskipun sesekali masih muncul ulama-ulama besar. Dengan demikian
arah laju peradaban menjadi mandeg bahkan cenderung mundur hingga tiba
masa kolonial yang mengubur dunia Islam secara politis maupun
intelektual. Lalu, kemanakah arah Muhammadiyah sesuai dengan konsep
ijtihad yang dirumuskannya sendiri?
Sebelum masuk kepada konsep ijtihad
Muhammadiyah, perlu didiskusikan ijtihad secara umum. Ijtihad secara
etimologis berasal dari bahasa Arab. Menurut Yusuf al-Qaradhawi akar
katanya sama dengna akar kata jihad yakni ja ha da. Menurut
Ibnu Manzhur, kata yang berakar dari ketiga huruf tadi bisa berarti
kesulitan, kemampuan, kesanggupan dan tujuan. Sedangkan jika telah
berubah wazanya dan menjadi lafal ijtihad maka artinya adalah
mengerahkan kemampuan (Mandzur, 2003 : 239). Kata ijithad hanya
digunakan untuk pekerjaan yang benar-benar sulit, sehingga kata ini
digunakan untuk menggambarkan seorang yang mengangkat batu yang berat
dengan kalimat ijtahada fi hamli al-hajri, dan tidak digunakan
untuk menggambarkan pekerjaan yang tidak membutuhkan tenaga banyak
seperti mengangkat biji sawi (al-Ghazali, 1992 : 4).
Secara terminologis ijtihad menurut al-Ghazali adalah : Pencurahan kemampuan seorang mujtahid dalam rangka memperoleh pengetahuan (al-ilm)tentang hukum-hukum syar’i. (al-Ghazali, 1992 : 4). Rumusan al-Ghazali masih umum dan tidak menjelaskan lapangan ijtihad, meskipun demikian dari kalimat badzlu al-mujtahidi wus’ahu dapat difahami bahwa lapangan ijtihad adalah masalah-masalah yang zhanni saja, sedangkan masalah-masalah yang sudah qath’i tidak perlu lagi dilakukan ijtihad. Di dalam kitab al-Ihkam al-Amidi menyebutkannya secara eksplisit bahwa yang menjadi lapangan ijtihad adalah permasalahan yang zhanni saja (al-Amidi, 1984 : 169).
Dalam pandangan ahli ushul fikih, yang
dimaskud mujtahid hanyalah ahli dalam bidang fikih sehingga ijtihad
hanya ada di dalam kajian fikih saja (Djamil, 1995 : 14). Pandangan
seperti ini terlihat dari rumusan al-Ghazali di atas. Di dalam bidang
fikih pun, lapangan ijihad dibatasi hanya pada masalah-masalah yang
tidak secara eksplisit disebutkan di dalam al-Qur’an atau Hadist dan
masalah-masalah yang terdapat di dalam keduanya tetapi bersifat zhanni ad-dilalah.
Permasalahn-permasalahan tersebut ditangani dengan tetap merujuk kepada
al-Qur’an dan Hadist sebagai sumber utama ajaran Islam yang kemudian
diinterpretasikan sesuai dengan masalah yang sedang diselesaikan
(Djamil, 1995 : 16). Interpretasi itu dilakuakan dengan memperhatikan
jangkauan lafal yang dikandung sebuah teks keagamaan dengan kaidah
kebahasaan dan tujuan umum disyari’atkannya hukum Islam. Namun demikian,
sebagian ulama termsuk asy-Syaukani di dalam Irsyad al-Fuhul
mengakui adanya isitlah ijtihad di dalam kajian yang dilakukan ahli
kalam, betapapun istilah itu hanya diakui oleh mereka dan tidak oleh
para fukaha. Ijtihad yang terakhir disebut ini disebut ijtihad dalam al-hukm al-ilmi, ketetapan-ketetapan teoritis semata sedangkan ijtihad para fukaha disebut ijtihad pada ranah al-hukm al-amali yakni ketetapan-ketetapan hukum yang praktis (asy-Syaukani, 1999 : 205).
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan
bahwa setidaknya ulama terpolarisasi ke dalam dua kubu – dengan
pengecualian beberapa sosok- yakni Mutakallimin yang mengklaim adanya
ijtihad di dalam lapangan al-hukmu al-ilmiy selain al-hukmu al-amaliy,
dan di posisi berseberangan para Fukaha yang menganggap ijtihad hanya
ada pada ranah yang kedua. Lalu dimanakah posisi Muhammadiyah yang
tertuang di dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah? Konsep ijtihad menurut
Majelis Tarjih Muhammadiyah mengakomodir kedua pendapat di atas. Di
dalam Manhaj Tarjih yang merupakan hasil Munas Tarjih ke 25 disebutkan
dua pengertian ijithad. Pengertian pertama adalah ijtihad secara umum,
dimana dikatakan bahwa ijtihad adalah mencurahkan segenap kemampuan
berfikir dalam menggali dan merumuskan ajaran Islam baik bidang hukum,
aqidah, filsafat, tasawwuf, maupun disiplin ilmu lainnya berdasarkan
wahyu dengan pendekatan tertentu . Pada rumusan ini diakui adanya
ijtihad pada ranah aqidah, filsafat, dan tasawwuf sehingga pendapat para
mutakallimin tertampung di dalamnya. Pengertian ijithad yang kedua
dikhususkan pada bidang hukum, dimana dikatakan bahwa ijtihad hukum
adalah mencurahkan segenap kemampuan berfikir dalam menggali dan
merumuskan hukum syar‘i yang bersifat zhanni dengan menggunakan metode
tertentu yang dilakukan oleh yang berkompeten baik secara metodologis
maupun permasalahan.
Jika diperhatikan konteks disampaikannya
di dalam Manhaj Tarjih, dapat diketahui bahwa pengertian ijtiahad yang
pertama disebutkan di dalam konteks pengertian umum isitilah-istilah
yang digunakan di dalam Manhaj Tarjih, sedangkan pengerian kedua
konteksnya adalah penjelasan mengenai posisi, fungsi dan ruang lingkup
ijtihad. Maka dapat disimpulkan bahwa Majelis Tarjih mengakui adanya
ijtihad di dalam bidang aqidah namun dalam pengertian yang berbeda
dengan ijtihad dalam bidang fikih. Hal ini dapat dipahami dengan lebih
jelas jika dikembalikan kepada tajdid yang meruapakan salah satu ruh
pokok gerakan Muhammdiyah. Berdasarakn hasil Munas Tarjih ke 22 di
Malang tajdid dalam Muhammadiyah memiliki dua aspek yakni pemurnian dan
peningkatan, pengembangan, modernisasi atau yang semakna dengannya.
Makna ijtihad dalam bidang aqidah kembali kepada tajdid dalam pengertian
yang pertama yakni pemurnian, sehingga ijtihad dalam konteks tersebut
bermakna usaha yang sungguh-sungguh dalam memurnikan aqidah Islam.
Walhasil, dari uraian di atas nyata bahwa
ada dua arah didalam konsep ijtihad Muhammadiyah sebagaimana hasil
analisis terhadap Manhaj Tarjih. Di dalam perkara aqidah yang tsabit (telah
tetap) dan atau di dalam persoalan hukum yang telah disepakati
kepastiannya oleh para ulama, Muhammadiyah menempuh sikap ijtihad
(bersungguh-sungguh mengerahkan semua potensi intelektual) untuk
memurnikan dan mempertahankannya sebagaimana adanya. Sedangkan di dalam
perkara muamalah Muhammadiyah berijtihad untuk memberikan pencerahan
bagi ummat agar terus mengembangkannya agar ummat Islam bisa meraih
pencapaian-pencapaian hebat tanpa terhalangi oleh paham keagamaan yang
jumud. Singkat kata, corak ijtihad Muhammadiyah adalah purifikasi dalam
hal tsabit dan dinamisasi dalam hal yang memang menjadi
lapangannya yaitu perkara duniawi sebagaimana disebutkan di dalam bab
Masalah Lima Himpunan Putusa Tarjih. Penting untuk memahami konsep
ijtihad ini, sebabab ijtihad adalah pedoman transformasi gerakan. Akan
bagaimana nantinya Muhammadiyah di abad kedua sangat dipengaruhi oleh
sejauh mana garis ijtihad ini ditetapi.
Ijtihad adalah instrumen utama dan
pembimbing gerakan tajdid sehingga tidak bisa terpisah darinya.
Menyongsong abad kedua ini tajdid Muhammadiyah diarahkan terutama dalam
hal pemikiran keagamaan, karena banyaknya amal usaha tanpa dibarengi
dengan penguatan intelektual tentu tidak bijak. Untuk itu para begawan
Muhammadiyah telah menawarkan beberapa bentuk seperti Tauhid Sosial
yang digagas oleh Prof. Dr. Amin Rais, gerakan ilmu yang diharapkan oleh
Buya Syafi’i Ma’arif atau tajdid ushuli-nazari dari Prof. Dr.
Syamsul Anwar. Menurut hemat penulis, dalam melakukan pengembangan
intelektual, Muhammadiyah harus menetapi konsep ijtihad yang telah
membentuk identitasnya dalam perjalanan abad kedua. Jika tidak maka bisa
terjadi kerancuan sikap dalam menghadapi tantangan abad kedua yang jika
memakai istilah Muhammad Asad, akan semakin banyak pertukaran ide-ide
antara bangsa. Kemajuan teknologi membautnya semakin cepat. Menetapi
prinsip ijtihad ini membuat Muhammadiyah tidak gagap dalam bersikap
terhadap banjir ide ini. Sebuah contoh sederhana, di awal abad kedua
Muhammadiyah ini wacana legalisasi hubungan sejenis dan sederet tuntutan
kaum LGBT semakin menguat, menyikapi masalah ini dengan paradigma
ijtihad yang telah disebutkan di atas, maka jelas bahwa hukum hubungan
sejenis adalah haram, sehingga paradigma yang dipakai adalah paradigma
purifikasi. Adapun persoalan sosial yang melatar belakangi atau pun
ekses dari permasalahan ini harus dipandang dengan paradigma dinamisasi
untuk mencari solusi terbaik bagi kaum yang eksistentisnya tidak bisa
dipungkiri tersebut.
0 komentar :
Posting Komentar