Oleh: Muhammad Hilmy Dzulfadli[1]
AbstrakPermasalahan Tenaga kerja Indonesia (TKI) kerapkali dihubungkan dengan kealpaan hukum dalam menjalankan fungsinya. Hukum dalam konteks tersebut senantiasa dimaknai sebagai undang-undang semata. Dari sanalah lahir ungkapan-ungkapan seperti ‘pemerintah gagal melindungi tenaga kerja’, ‘pemerintah lalai dalam menjalankan fungsinya’, ‘Negara tidak berdaulat’, dll. Ungkapan-ungkapan moralis tersebut setidaknya dapat dikagumi sekaligus dicurigai. Dikagumi karena di tengah kuatnya budaya bungkam hari-hari ini, termasuk ketika memperbincangkan permasalahan tenaga kerja Indonesia, masih adanya nada kritis yang menyeruak. Sekaligus patut dicurigai karena mengandung sejumlah nilai yang berpotensi kuat untuk menyederhanakan masalah.Pandangan-pandangan moralis tersebut bertolak dari cara mendahulukan moral sebagai variabel utama bahkan satu-satunya ‘kata kunci’untuk memahami realitas. Bagi penganut pandangan ini, realitas sosial yang kompleks dipahami sebagai sesuatu yang hitam-putih menurut klaim moralitas. Dengan kata lain, moral dipahami sebagai suatu hal yang lahir dari ruang hampa dan kemudian berada di masyarakat. Faktor-faktor lain seperti relasi bangunan atas masyarakat (semisalhukum dan Negara), maupun bangunan dasar yakni kapitalisme dianggap tidak memiliki keterkaitan dengan permasalahan TKI.Padahal, undang-undang sebagai salahsatu bagian dari hukum senantiasa dibangun dari sejumlah klaim moralitas tertentu. Apalagi ketika hukum dijadikan sebagai instrumen pelindung Negara, hal yang sering ditekankan adalah klaim moralitas khusus yakni ‘netralitas dan/atau independensi hukum’. Undang-undang sendiri berlaku sebagai produk proses politik. Dalam konteks Indonesia masa kini, undang-undang lahir dari formasi kaum elit berupa lembaga-lembaga Negara, dengan menjunjung tinggi tata etika khas sistem oligarki. Termasuk Undang-Undang Perburuhan no. 13 Tahun 2003 yang menjamin kebebasan bagi buruh domestik untuk melakukan mogok kerja serta menutup pabrik, namun memberikan jaminan bagi pengusaha untuk menerapkan sistem kerja kontrak.Begitu pula dengan Undang-undang no. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI yang dirasa tidak sesuai dengan Konvensi ILO tahun 1990 tentang perlindungan hak buruh migran beserta keluarganya.Kondisi ini mempunyai hubungan dengan peran Negara dalam masa kapitalisme neoliberal. Di Indonesia kapitalisme-neoliberal mengalami penyesuaian pada awal tahun 2000-an, setelah diguncang oleh krisis pada akhir 90-an. Secara sederhana, proses reorganisasi kapital ini mempunyai ciri-ciri: (1) diciptakannya cara-cara eksploitasi baru dengan memperluas lahan bagi pekerja domestik. (2) meluasnya proses ekspansi kapital yang makin terpusat secara ‘politik’namun menyebar dalam ‘ekonomi’. Negara-negara di Dunia dipetakan dengan klasifikasi pemasok bahan mentah, pengolah, distribusi dan kosumsi (pasar). Ditambah dengan makin merebaknya tenaga kerja di bidang jasa, bahkan dalam aktifitas jual-beli mata uang. (3) Dua hal yang disebutkan di muka bertujuan untuk memperoleh surplus sebanyak-banyaknya, sebagai akibat dari krisis di berbagai wilayah Dunia lima tahun terakhir.Kata-kata kunci: tenaga kerja Indonesia, netralitas hukum Negara, kapitalisme neoliberal
Pendahuluan
Biasanya tulisan-tulisan didahului dengan memberikan definisi
terhadap hal yang sedang dibahas. Hal ini bertujuan agar pembahasan
jangan sampai meluas alias ‘keluar jalur’. Kemudian, definisi yang
umumnya diberikan—khususnya dakam textbook kuliah—berasal dari pendapat
para ahli, namun seringkali melupakan definisi menurut penulisnya
sendiri. Maka apakah tulisan ini membutuhkan definisi mengenai tenaga
kerja?.Para pecinta posmodernisme tentu akan menolaknya. Karena bagi
mereka adanya definisi dianggap mengingkari definisi itu sendiri. Dengan
kata lain, adanya definisi dapat berakibat menyederhanakan pembahasan
karena definisi itu sendiri ‘memagari’ pembahasan. Penyederhanaan
pembahasan akan berakibat pada munculnya ‘kebenaran obyektif’, yang
tentu ditolak oleh posmodernisme.
Namun, penulis akan mencoba mendefinisikan tenaga kerja menurut
kemampuan subyektif pribadi. Sebelumnya, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) sebagai panduan berbahasa Indonesia yang baik dan benar menurut
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) memberikan definisi yang dingin dan datar
mengenai tenaga kerja. Menurut KBBI, tenaga kerja adalah: (1) Orang
yang bekerja atau mengerjakan sesuatu; pekerja, pegawai, dsb dan (2)
Orang yang mampu melakukan pekerjaan, baik di dalam maupun di luar
hubungan kerja[2]. Menurut hemat penulis, definisi yang diberikan oleh KBBI
menggantungkan diri pada klaim netralitas. Kerja yang didefinisikan
seolah tidak ada hubungannya dengan apa yang disebut Marx sebagai kerja dalam wilayah produksi
(disebut ‘kerja produktif’). Dalam bahasa klasik Marx yang juga penulis
sepakati, kerja digolongkan menjadi dua bagian. Pertama,Kerja produktif
dan kerja non-produktif (di luar wilayah proses produksi).[3]
Adapun tenaga kerja termasuk orang-orang yang melakukan kerja
produktif. Sedangkan contoh kerja non-produktif yakni bekerja untuk
memenuhi kebutuhannya sendiri (tidak untuk diproduksi secara luas)adalah
membuat kursi dari kayu untuk digunakan oleh sang pembuat sendiri.
Adapun hubungannya dengan definisi tenaga kerja terletak pada watak
dari kerja yang dilakukan. Maka bagi penulis, tenaga kerja didefinisikan
sebagai orang-orang yang melakukan kerja produktif di luar wilayah negaranya.
Definisi yang sederhana namun mempunyai relevansi dengan kondisi yang
terjadi sejauh definisi tersebut tetap mengandaikan jarak antara ‘apa
yang sebenarnya terjadi’ dengan ‘apa yang coba diungkapkan melalui teks’
serta berguna bagi agenda praksis emansipatoris di masyarakat. Lebih lanjut, dalam upaya untuk memahami kondisi TKI yang terjadi, penulis menawarkan sebuah cara pandang yakni melihat permasalahan TKI dengan relasinya terhadap hukum Negara di masa Kapitalisme-neoliberal.
Dengan menawarkan cara pandang tersebut penulis hendak menolak
pandangan moralis maupun normatif-mekanistik. Namun beberapa pertanyaan
yang perlu dijawab adalah (1) bagaimana arus utama pemikiran hukum
(baca: hukum Negara) saat ini?.Hal ini perlu agar mengetahui asumsi
sementara mengenai hukum dan hubungannya terhadap TKI. Dan (2) apa
kaitan antara hukum Negara dengan kapitalisme-neoliberal?. Tulisan di
bawah ini akan mencoba menjawab dua pertanyaan tersebut.
Hukum yang (tidak)betul-betul netral
Sejarah hukum modern di Indonesia dimulai bersamaan dengan datangnya
penjajah ke tanah air. Seperti yang banyak di bahas dalam buku-buku
sejarah, penjajah (pemerintah kolonial Belanda) datang ke Indonesia
untuk mencari komoditi ekonomi yang sangat di butuhkan oleh pasar di
Belanda dan daratan Eropa pada umumnya. Komoditi ekonomi berupa
rempah-rempah dicari demi mengisi pasokan atas terjadinya kelangkaan di
Belanda sana. Maka motif ekonomi dapat di katakan sebagai salahsatu
alasan pembenar (raison d’ etre) yang melandasi praktek kolonialisme di Indonesia.
Tatanan sosial masyarakat yang telah mapan dengan dilandasi
nilai-nilai ketimuran digeser dengan praktek kolonialisme ini. Rakyat
indonesia tidak lagi menjadi tuan atas tanah airnya sendiri. Rakyat kita
dipaksa untuk menjadi budak dari penjajah, lagi-lagi untuk memenuhi
kebutuhan pasar penjajah. Beberapa kebijakan dari pemerintah kolonial
Belanda seperti sistem tanam paksa, pembangunan infrastruktur seperti
jalan raya dan rel kereta api mencerminkan betapa terang-benderangnya
motif ekonomi tersebut.
Penindasan yang terjadi dapat dilacak basis sejarahnya bersamaan
dengan munculnya sistem negara modern, perusahaan lintas negara (Multinational Corporations),
demokrasi, dll. Kapitalisme sendiri, sebagaimana yang dipahami Marx,
selalu dilandasi oleh dua hal yakni penindasan atas sesama manusia dan
akumulasi modal (Capital). Penindasan atas sesama manusia
menjadikan manusia direduksi dan direnggut kemanusiaannya, karena
diposisikan setara dengan mesin. Sedangkan akumulasi modal dimungkinkan
terjadi dari nilai lebih yang didapatkan dari konsumsi hasil produksi.
Hal ini tentu saja mempengaruhi pelaksanaan hukum di Indonesia.
Seperti yang diketahui, sebelum para penjajah datang rakyat Indonesia
(Nusantara) tidak mengenal hukum modern yang di dalamnya terdapat
pendidikan hukum dan institusi hukum formal. Adapun hukum yang digunakan
oleh rakyat pada saat itu adalah hukum adat yang berkelindan dengan
hukum islam pada beberapa daerah. Pendidikan hukum modern sendiri
dimulai segera setelah di bangunnya sekolah pendidikan tinggi hukum (rechtshogeschool). Kebijakan pemerintah kolonial sendiri untuk membangun sekolah
pendidikan tinggi hukum tentu saja bukan didasari oleh niat baik—untuk
mencerdaskan kehidupan rakyat Indonesia. Akan tetapi, karena para
penjajah membutuhkan sumber daya manusia (SDM) untuk mengisi ruang-ruang
birokrasi dan administrasi kolonial. Kebutuhan ini diperkuat dengan
legitimasi pemerintah kolonial yakni kebijakan politik etis yang dimulai
pada awal tahun 1900-an.
Lebih lanjut, sistem hukum yang digunakan (sistem hukum modern) tentu
saja tidaklah tanpa alasan. Sebagaimana yang diketahui, bahwa sistem
hukum modern yang dibawa pemerintah kolonial mengadopsi sistem hukum
Civil Law. Sistem hukum Civil Law adalah sistem yang lebih memahami
hukum secara normatif, sehingga hukum tidak dipandang mempunyai
relevansi logis dengan kenyataan empiris di lapangan. Ciri hukum modern
ini lebih menekankan pada rumitnya tahapan birokratis, yang tentu saja
tidak dapat di akses secara bebas oleh semua orang. Hanya orang berpunya
(the haves) yang dapat mengakses hukum.
Sampai sini, dapat kita pahami bahwa hukum modern yang diterapkan di
Indonesia tidaklah “netral” sebagaimana yang dipahami. Sistem hukum
Civil Law jelas mempunyai hubungan dengan Kapitalisme dan praktek
kolonialisme. Kapitalisme sebagai perwajahan dari salahsatu sifat dasar
manusia yakni keserakahan mempunyai tabiat untuk selalu mempertahankan
kemapanan (status quo). Dengan kata lain, hukum modern yang ada di Indonesia tidaklah berasal dari social setting rakyatnya. Hukum modern di Indonesia dipaksakan untuk diterapkan (dicangkokkan) bersama dan untuk melanggengkan kapitalisme.[4]
Pendapat diatas menjadi lebih kuat apabila dilihat dari optik sejarah
dan filsafat. Fakta sejarah yaitu revolusi kaum borjuis di Prancis,
revolusi industri di Inggris dan revolusi intelektual di Jerman (yang
pada saat itu masih berada di bawah kekuasaan kerajaan Prusia)
mencerminkan beberapa hal. Pertama, revolusi Prancis telah di
langsungkan oleh kaum borjuis untuk menggeser kekuasaan dari tangan kaum
bangsawan (aristokrat). Kaum aristokrat sendiri telah memancangkan
kekuasaannya selam beratus-ratus tahun di Prancis. Segera setelah
revolusi, struktur politik di ubah sedemikian rupa (baca: disesuaikan)
demi kemapanan kaum borjuis. Perubahan tersebut mempunyai efek terhadap
struktur masyarakat, dimana kaum proletar semakin terpinggirkan.
Kedua, perubahan-perubahan secara cepat dan mendasar (revolusi)
diatas mempengaruhi sistem hukum yang digunakan. Setelah sebelumnya
hukum alam digunakan oleh manusia di Dunia selama beratus-ratus tahun,
hukum modern tampil sebagai ‘barang baru’ yang dianggap membawa
keadilan. Namun pengalaman empirik menyatakan fakta sebaliknya. Keadilan
yang dicita-citakan oleh hukum modern bak ‘panggang jauh dari api’.
Perangkat pembangun hukum modern sendiri ternyata malah mereduksi bahkan
menafikan keadilan yang sejati (substancial justice).
Secara filosofis, hukum modern ditandai dengan dominasi paham
rasionalisme di belahan dunia Barat. Rasionalisme sebagai anak sah dari
kapitalisme dan modernisme berkutat pada doktrin Rene Descartes yaitu
“aku berpikir, maka aku ada” (cogito ergo sum). Doktrin
tersebut menjadikan manusia sebagi pusat dari segalanya, termasuk alam
semesta. Akal di pahami sebagai realitas tertinggi, sehingga manusia
sebagai mahluk yang mempunyai akal menjadi satu-satunya pemegang
otoritas penafsir. Dari sini kita lihat bahwa rasionalisme menggeser
paham ‘filsafat alam’ yang di dalamnya terdapat pula sistem ‘hukum
alam’.[5]
Lebih lanjut, paham rasionalisme ini melahirkan pula paham yang dinamakan positivisme (positivism).
Positivisme adalah paham yang menyatakan bahwa realitas dapat
ditaklukan dengan melakukan pendefinisian secara positif yakni melalui
akal (ratio). Efeknya, terjadilah mistifikasi kebenaran. Dimana
tidak ada kebenaran diluar ke-aku-an (rasionalisme). Disini kita
mencium bau falsafah “egoisme” karena menjadikan kebenaran akal sebagai
satu-satunya kebenaran mutlak. Efek yang terang-benderang dapat kita analisis pula pada
karakteristik positivisme hukum yakni berhukum dengan paradigma
‘hitam-putih’. Hukum direduksi menjadi sesuatu yang tertulis
(aturan-aturan). Kemudian, hukum juga di selenggarakan dengan sangat
mekanistis. Hal ini menjadi logis, dimana bangunan positivisme hukum
haruslah dilandasi dengan bentuk tertulis yang dapat melanggengkan
kemapanannya. Meminjam bahasa Jurgen Habermas, rasionalisme dan
positivisme menggunakan “rasio instrumental” sebagai senjatanya.[6]
Namun, proses ini sangat ‘biasa’ apabila kita melihat sejarah Barat
itu sendiri. Sebelum rasionalisme tampil sebagai ‘raja’, Barat di
dominasi oleh dogma gereja yang sangat menafikan akal. Pemuka agama
(pendeta) di perlakukan sebagai penyampai wahyu Tuhan yang resmi.
Begitupun dengan raja-raja, yang menyatakan diri sebagai wakil bahkan
jelmaan Tuhan, sehingga titahnya bersifat mutlak. Sejarah mencatat bahwa
banyak sekali korban seperti Galileo Galilei, dan ilmuwan-ilmuwan
lainnya. Social setting seperti itulah yang melandasi munculnya paham
rasionalisme dan positivisme. Kondisi ini tentu saja berbeda dengan
kondisi Indonesia. Indonesia tidak pernah mengalami trauma sejarah
sebagaimana yang dialami oleh Barat. Sejumlah buku sejarah mengungkapkan
bahwa hukum adat dan hukum islam bagi manusia Indonesia adalah sistem
hukum yang sesuai dengan basis sosialnya. Hal ini menyebabkan hukum asli
Indonesia mengakar dalam basis sosial dan budaya, yang kemudian
membentuk struktur tersendiri. Sehingga tidak bijak apabila basis
tersebut dipaksakan untuk diubah.
Negara di Masa Kapitalisme-Neoliberal
Neoliberalisme adalah variasi dari liberalisme klasik di abad 19
ketika Inggris dan imperialis lain menggunakan ideologi kompetisi pasar
dan perdagangan bebas untuk menyetujui kapitalisme di negara mereka
sendiri serta negeri jajahan di seluruh dunia. Pemberontakan di
negeri-negeri Utara oleh buruh industri dan para pengangguran pada tahun
1930-1940-an dan di negeri-negeri Selatan pada tahun 1940-1950-an untuk
mengakhiri liberalisme klasik dan kolonialisme pada umumnya. Akan
tetapi usaha-usaha ini menggunakan ide aliran keynesian, yakni
digunakannya manajemen pemerintah pada upah dan tawar-menawar bersama (collective bargaining) sebagai subsidi pada industri untuk mendukung pertumbuhan produktivitas dan ide ‘Negara kesejahteraan’ (welfare state) dengan tidak diakuinya upah dan campuran isu antara pemberontakan dan pembangunan untuk untuk melawan koloni baru.[7]
Dalam waktu kurang dari 30 tahun, lingkaran kerja internasional dari
buruh, perempuan, mahasiswa, petani dan kaum pro-lingkungan memberontak
pada tahun 1960-an dan 1970-an untuk mengakhiri sistem Keynesian. Buruh
saat itu memperlambat pertumbuhan produktivitas serta menuntut agar
dinaikkan upahnya. Hal ini telah memutuskan kerja yang semata-mata
mengejar produktivitas dan keuntungan pada akhir perang dunia ke II.
Perempuan berupaya menolak kekuasaan patriarkhi di dalam rumah dan
berjuang untuk mendapatkan akses,pendapatan serta hak menentukan nasib
sendiri. Sedangkan mahasiswamencoba mengubah kewenangan di kampus-kampusserta
di pemerintahan dengan menuntut hak-hak dan mereka tidak dikirim ke
perang. Petani berjuang untuk menjaga dan mengklaim kembali kepemilikan
tanah mereka. Serta mencegah dipekerjakan paksa dengan upah rendah
dengan resiko kerja tinggi di kota terasing. Kelompok pecinta lingkungan
mengubah definisi kapitalis dan eksploitasi alam sebagai obyek dan
menciptakan hubungan yang lebih harmonis dengan alam.
Setelah diserang dari berbagai sisi, maka pada akhirnya struktur
Keynesian jatuh. Dalam perspektif sejarah, neo-liberalisme dapat dilihat
sebagai respon terakhir kapitalis pada kekuatan rakyat yang mempunyai
tujuan untuk menghancurkan bentuk eksploitasi dan merumuskan sendiri
perubahan sosial. Neoliberalisme muncul, dikenal dan meluas seperti yang
terjadi di Amerika Latin ketika krisis hutang luar negeri meledak di
tahun 1982. Dimana saat itu Mexico mengumumkan tidak dapat lagi memenuhi
kewajibannya atas hutang luar negerinya. Beberapa bukti adalah naiknya bunga pinjaman (dikemudikan oleh American Federal Reserve Board’s Campaign against global inflation—lembaga
yang dibentuk untuk kampanye melawan inflasi global), runtuhnya
produksi dunia dan perdagangan membuat tidakmungkinnyakenaikan nilai
mata uang asing.Sehingga Mexico beserta negara-negara lain terancam
kegagalan atas pinjaman luar negerinya.
Dalam responnya, IMF dan bank dunia merujuk pada unsur kepemimpinan,
dengan menuntut adanya penggantian kebijakan berorientasi pasar yang
diterapkan sebelumnya oleh Negara dan kemudian menggantinya dengan
pendekatan pembangunan sebagai bagian dari persyaratan jaminan hutang.
Lembaga-lembaga Internasional tersebutberwatak pro-bisnis,
pro-keuntungan, anti upah, anti kebijakan yang berpihak pada buruh dan
mulai bicara mengenai “perang kelas baru”.
Dilihat daripenyamarannya, neoliberalisme dapat dibaca sebagai
ideologi ataupun strategi. Ideologi dari neoliberalisme adalah pemujaan
pasar dan subordinasinya semua dimensi kehidupan pada tuntutannya,
termasuk pada pemerintah, individu-individu dan alam. Neoliberalisme
sebagai strategi meliputi swastanisasi (privatisasi), pemotongan bantuan
makanan dan perumahan, melipatgandakan penjara, perayaan hukuman mati,
memecah belah serikat buruh, memagari tanah, upah rendah, keuntungan
lebih tinggi, terorisme keuangan, menggantikan orientasi ekspor dengan
pembangunan impor, mobilitas kapital bebas, memecah belah imigran,
menonjolkan rasisme, anti gerakan feminis, mengintensifkan perang
intesitas terhadap petani, dan mempercepat komodifikasi alam atas nama
kebebasan, efisiensi dan keuntungan.
Strategi neoliberalisme yang demikian tentu memiliki syarat penjamin
agar kehendaknya tercipta. Dalam hal ini peran Negara dan pemerintah
dimungkinkan ada sejauh ia mampu mengakomodir pemenuhan strategi
neoliberalisme dengan menekan kaum borjuasi domestik apalagi gerakan
perlawanan rakyat. Hal ini berbeda dengan asumsi umum yang seringkali
menyebutkan bahwa peran Negara di masa kapitalisme-neoliberal makin
disempitkan, dibatasi dan lambat laun semakin direduksian sich. Dalam bahasa sederhana, Negara saat ini menjadi ‘kuda tunggangan’ yang nyaman bagi kapitalisme-neoliberal.
Kondisi demikian dapat disebut sebagai gejala
‘fetisisme’(pemberhalaan pada suatu komoditi), ketika memandang hal yang
dianggap biasa namun diam-diam memiliki aura magis di dalamnya (baca:
ilusi). Hal yang sama terjadi pula pada hukum Negara. Pemberhalaan pada
hukum yang diartikan secara sempit yakni sebatas undang-undang saja
menimbulkan ‘kesadaran palsu’ yang meninabobokan massa luas, karena
undang-undang dianggap dapat menyelesaikan semua masalah. Sehingga
hukum—sebagaimana dalam bahasa Zizek—dapat disebut sebagai sarana pemuas
hasrat dalam masyarakat kapitalisme-neoliberal.[8]
Simpulan
Dari uraian di atas, dapat ditarik beberapa poin menyangkut masalah
TKI yang terjadi. Pertama, ternyata hukum positif (baca: hukum Negara)
mempunyai cacat yang melekat di dalam dirinya, termasuk ketika
memperbincangkan perlindungan bagi TKI. Cacat secara inheren tersebut
diakibatkan oleh relasi antara hukumdengan kuasa-kuasa lain semisal
ekonomi, politik, sosial, budaya, dll. Dari sini sekali lagi penulis
mengklaim bahwa Undang-Undang Perburuhan no. 13 Tahun 2003 dan
Undang-undang no. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI
tidaklah betul-betul netral.
Kedua, Negara mempunyai peran yang cukup ‘gawat’ di masa
kapitalisme-neoliberal. Negara berlaku sebagai pelindung perluasan
neoliberalisme, dengan cara melakukan sejumlah penyesuaian di berbagai
dimensi kehidupan sebagai prasyarat bagi lancarnya proses reorganisasi
kapital. Negara dalam konteks ini tidak lagi dilihat sebagai sejumlah
wilayah yang ditempati, memiliki pemerintahandan rakyat yang dihitung
konstituennya. Dengan kata lain, Negara tidak lagi dipandangseperti
diktum padaabad-19 yakni sebagai sebuah entitas yang memiliki
kedaulatannya sendiri (Yang Berdaulat).
Disinilah posisi penulis berada, yakni menawarkan cara pembacaan
terhadap permasalahan TKI melalui relasinya dengan ekonomi-politik
Internasional, berikut bangunan atas yang menopangnya (hukum Negara).
Harapannya, dengan cara baca seperti ini kompleksitas masalah dapat
dibedah, diurai serta dicarikan solusi alternatifnya tanpa kemudian
terjebak pada kacamata ‘moralis’ dan normatif-mekanistik. Akhir kata,
tulisan ini ditutup dengan meminjam kata-kata seorang penganut ajaran
Musa di lembah Rhein Jerman: “all workers, unite!”.
Daftar Rujukan
Buku:
Awaludin Marwan, Studi Hukum Kritis (dari modern, postmodern hingga posmarxis), Penerbit Thafa Media, Yogyakarta, 2012.
Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif (ilmu, masyarakat, politik, dan Postmodernisme menurut Jurgen Habermas), Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2009
Karl Marx, Kapital—sebuah kritik ekonomi politik (buku pertama), Penerbit Hasta Mitra, tanpa tempat terbit, 2004.
Malcolm Caldwell & Ernst Utrecht, Sejarah Alternatif Indonesia, Penerbit Djaman Baroe, Yogyakarta, 2011.
Satjipto Rahardjo, Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009.
Makalah:
Harry Cleaver, Alam, Neoliberalisme dan Pembangunan Berkelanjutan, makalah disampaikan dalam diskusi Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan tidak diterbitkan, Jakarta, 1997.
Website:
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi 1.2 (offline) diambil dari http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/
[1]Pimpinan IMM Cabang AR fakhruddin serta pegiat Paguyuban Sinau Hukum Progresif (PSHP)
[2]Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi 1.2 (offline) diambil dari http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/
[3]Karl Marx, Kapital—sebuah kritik ekonomi politik (buku pertama), Penerbit Hasta Mitra, tanpa tempat terbit, 2004.
[4]MalcolmCaldwell &Ernst Utrecht,Sejarah Alternatif Indonesia, Penerbit Djaman Baroe, Yogyakarta, 2011.
[5]Satjipto Rahardjo, Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009.
[6]F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif (ilmu, masyarakat, politik, dan Postmodernisme menurut Jurgen Habermas), Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2009.
[7]Harry Cleaver, Alam, Neoliberalisme dan Pembangunan Berkelanjutan, makalah disampaikan dalam diskusi Partai Rakyat Demokratik (PRD), Jakarta, 1997.
[8]Awaludin Marwan, Studi Hukum Kritis (dari modern, postmodern hingga posmarxis), Penerbit Thafa Media, Yogyakarta, 2012.
0 komentar :
Posting Komentar