Multipartai dan Disitegritas Bangsa


Oleh : mirza sulfari |

Kelahiran suatu pikiran sering menyamai kelahiran seorang anak. Ia didahului dengan penderitaan-penderitaan pembawaan kelahirannya (Tan malaka)

Sebentar lagi masyarakat Indonesia disibukkan oleh rutinitas bernegara dalam agenda 5 (lima) tahun sekali bangsa ini yaitu pesta demokrasi. Pesta demokrasi yang diperuntukkan bagi partai politik yang mewakili representasi masyarakat untuk memilih para wakilnya di lembaga legislatif maupun eksekutif. Metode yang dipilih untuk memilih para perwakilannya yang nantinya menduduki kursi legislatif dan eksekutif dengan memakai model pemilihan secara langsung. Melalui partai politik masyarakat indonesia berpartisipasi. Hampir 34 partai politik maju untuk mewarnai pesta demokrasi yang sebentar lagi dilaksanakan di tahun 2009. Selain partai yang begitu banyak ikut berperan serta dalam pemilu nantinya masyarakat akan disibukkan oleh perang platform partai yang dilakukan oleh peserta partai politik demi untuk mencari simpati kepada masyarakat

Dalam sejarah panjang pemilu di indonesia multipartai menjadi pilihan yang utama bagi terciptanya kehidupan berdemokrasi. Dari awal tahun 1955 partai politik yang berdiri sekitar 178 peserta partai dan calon perorangan dan pada tahun 1971 diikuti 10 Parpol, Pemilu 1999 diikuti oleh 48 Parpol, dan Pemilu 2004 diikuti oleh 24 parpol.

Sementara pada pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 hanya diikuti oleh peserta parpol sebesar 3 parpol. diantaranya Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Ketiganya itu merupakan hasil dari fusi (penggabungan) partai-partai yang menjadi peserta pada Pemilu 1971. PPP adalah hasil fusi dari Partai NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Sedangkan PDI merupakan hasil penggabungan dari PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan Murba. Pemilu di masa orde baru ini sering disebut dengan sistem multipartai sederhana dan sekarang pada tahun 2009 partai politik peserta pemilu mencapai 34 partai politik.

Menurut J. Kristiadi, ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintah disebabkan oleh kolaborasi sistem presidensial yang dipilih dengan multipartai tidak terbatas. Penggabungan dua variabel tersebut adalah kombinasi yang tidak komparatif karena mengandung kelemahan, pertama, akan menimbulkan kemacetan karena presiden tidak selalu mendapatkan jaminan mayoritas di parlemen sehingga dipaksa harus selalu melakukan koalisi atau deal-deal politik dalam menangani setiap isu politik. Hal ini berbeda dengan sistem parlementer, dimana partai mayoritas atau gabungan partai-partai yang berhasil membangun koalisi membentuk pemerintahan, sehingga selalu ada jaminan dukungan pemerintah oleh parlemen. Kedua, akan menimbulkan permasalahan yang kompleks dalam membangun koalisi di antara partai-partai politik (Visi Indonesia 2030: Perspektif Politik, 2008). Friksi antar koalisi itu terjadi karena masing-masing parpol memiliki visi dan platform berbeda yang menjadi landasan bagi ruang gerak di masing-masing partai politik dan nantinya akan mempengaruhi dinamika di tingkatan grass road masyarakat sebagai follower di salah satu parpol yang akan berkoalisi.

Survey yang dilakukan Indo Barometer (Data Survey Nasional 5-16 Juni 2008) menunjukkan mayoritas publik (88,2%) mengungkapkan partai politik di Indonesia saat ini terlalu banyak. Idealnya, partai politik saat ini berjumlah lima partai (24,0%) dan 3 partai politik (21,6%). Survey ini memberikan gambaran bahwa publik hanya menghendaki maksimal 5 parpol.

Dalam iklim demokrasi yang terjadi sekarang ini pemilu menjadi sarana bagi terciptanya efektifitas (daya guna) peran masyarakat dalam menentukan wakil-wakilnya di kursi dewan maupun di kursi eksekutif nantinya. Pemilu adalah suatu wadah bagi masyarakat untuk mengekspresikan peran politis dan kendaraannya adalah partai politik yang mengakomodir dan mengkonsolidasi masyarakat dalam berpartisispasi menentukan pilihannya. Bukan hal yang tabu lagi bagi masyarakat Indonesia dengan adanya pesta demokrasi dalam iklim politiknya. Sudah hampir setengah abad Masayrakat Indonesia sudah dikenalkan pemilu secara terbuka dari tahun 1955 hingga 2009.

Menurut Heideger manusia tidak dapat lepas dari rutinitas kebiasaannya sehari-hari. Rutinitas atau kebiasaan teraplikasi dalam perannya untuk menciptakan hubungan diluar dari kebiasaannya. Sudah hampir setengah abad masyarakat indonesia menentukan pilihannya secara mandiri dan dikenalkan dalam sistem prosedural pemilihan Seperti ini dan menjadi kebiasaan bagi masyarakat Indonesia untuk menentukan pilihannya. Tetapi apa dampak yang signifikan bagi masyarakat Indonesia terhadap integritas bangsa ini?

Prilaku pemilih di Indonesia

Transisi ke arah demokrasi di Indoensia yang terjadi sekarang ini mendorong klaim baru bagi para pendukung perwakilan proporsional. Perwakilan proporsional ini yang menjadi pilihan bagi Indonesia untuk menentukan pilihannya di pemilu secara langsung. Anggapan bahwa perwakilan proporsional merupakan formula pemilu yang paling tepat untuk masyarakat yang heterogen seperti di Indoensia. Menurut Arend lijhpart perwakilan proporsional mamiliki 4 unsur[1] didalamnya. Pertama, perwakilan proporsional adalah metode pemilihan anggota badan legislatif yang paling adil. Terutama kalau dibandingkan dengan formulasi pemilu sistem distrik karena dalam proporsional menjamin persentasi kursi yang dimenangkan oleh sebuah partai sama dengan persentase suara. Kedua, perwakilan bersifat inklusif, karena ia menjamin perwakilan yang terpilih tidak merusak dalam legislatif. Dengan demikian, perwakilan proporsional meningkatkan partisipasi yang penuh terhadap konstitusional dengan berpartisipasi dalam pemilu. Ketiga memudahkan pembagian peran dapat dilaksanakan dengan penataan kekuasaan (power-sharing) sehingga kekuatan politik untuk berperan serta dalam pemerintahan. Keempat, egfektifitas bagi masyarakat yang heterogen karena pemilihan-pemilihan politiknya sangat adil di pembagian etnis, ras, linguistik (bahasa) dan agama.

Metode perwakilan proporsional sangat relevan jika di inviltrasikan dalam negara berkembang yang notabennya masyarakat agraris seperti di indoensia. Di negara berkembang khusunya Indonesia, masyarakatnya lebih melihat suatu kepentingan dan membedakan dirinya satu dengan yang lainnya. Terlebih atas dasar tempat mereka tinggal dari pada apa yang mereka lakukan. Kesadaran atas individu terhadap sesuatu yang lebih umum (negara) masih lemah. Sehingga mereka lebih mementingkan suatu daerahnya dari pada kepentingan negara secara lebih luas. Mereka lebih sayang dengan tempat tinggalnya sendiri. Bila datang ke pemilu, lebih senang untuk memusatkan perhatiannya pada kebutuhan dasar daerahnya disekitarnya seperti, jaminan sosial, jaminan kesehatan dan lain-lain. Artinya masyarakat di negara berkembang khusunya didaerah-daerah mementingkan kepentingan politik secara kolektif (bersama) dan mereka memebrikana suara berdasar kebutuhan kolektif di suatu daerah. Kesadaran non produktif itulah yang nantinya akan teraplikasi dalam disintegrasi bangsa.

Selain itu, metode rekruitmen bagi partai politik yang secara instan dalam memilih untuk perwakilannya di DPR maupun di Eksekutif. Lemahnya pola perkaderan dari partai politik untuk mempersiapkan pemimpin-pemimpin yang ingin di distribusikan ke dalam parlemen. Sering kita dengar sekarang ini. Sehingga teraplikasi pada Prilaku yang instan pula dan tidak mencerminkan seorang pemimpin yang menjadi pengayom dan menjadi contoh positif terjadi di DPR. Banyaknya penyalahgunaan wewenang kekuasaan dan penyalahgunaan dana terjadi sekarang ini. Tepatnya, partai politik sebagai pemasok utama legislator atau wakil rakyat harus dapat memilih seorang pemimpin yang memiliki kreadibilitas moral sehingga menjadi cermin bagi voter (pemilih) yang mempercayakan kepada para perwakilannya.


[1] Amal, Ichlasul “ teori-teori mutakhir PARTAI POLITIK, PT. Tiara Wacana Yogya, hlm 85

Share on Google Plus

About PC IMM AR FAKHRUDDIN

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :