Mengapa, Pendidikan Tidak Boleh Murah?


Oleh : Mirza Sulfari

Indonesia adalah sebuah rumah mewah yang dinakodahi oleh pemerintah sebagai actor. Rumah yang memiliki pilar-pilar untuk menyangga keutuhan berkeluarga. Salah satu pilarnya adalah pendidikan sebagai suatu parameter terciptanya kelangsungan suasana yang harmonis dan nyaman. Melihat realitas sekarang ini kondisi itu berubah menjadi tidak terjaganya pilar-pilar penyanggah itu. Para penghuninya (pemerintah) tidak memelihara keutuhan pilar tersebut dan tidak memelihara dengan penuh keberanian. Melalui regulasi (kebijakan) para penghuni dirumah itu kurang memelihara pilar sehingga pilar tersebut menjadi rapuh dan sebentar lagi akan runtuh. Sungguh menyedihkan rumah mewah bangsa ini akan runtuh dan hancur, kita tinggal menunggunya. Itulah sekelumit dari ilustrasi cerita kehidupan bangsa ini.
Di dalam realitas kemasyarakatan sekarang ini. Masyarakat Indonesia kembali disibukkan oleh kondisi yang tidak berpihak kepada masyarakat khususnya di dunia pendidikan. Badan hukum pendidikan (BHP) menjadi alat bagi pemerintah untuk membersihkan masyarakat dari tingkat kemajuan suatu bangsa. Melalui kebijakan pemerintah ini akan memberikan dampak yang signifikan terhadap kelangsungan dunia pendidikan sekaligus lemahnya akuntabilitas Negara kepada masyarakatnya. Didalam beberapa pasal yang telah dirumuskan oleh anggota dewan perwakilan masyarakat memiliki peran yang melemahkan peran Negara dan akan semakin meruncing. Karena Negara tidak sepenuhnya mendistribusikan anggarannya untuk dunia pendidikan. Dalam undang-undang yang telah dirumuskan dan disahkannya menjelaskan fungsi pendidikan yang bukan menjadi satu kesatuan tanggung jawab pemerintah dalam membangun daya guna dunia pendidikan. Lemahnya distribusi efisiensi kualitas maupun kuantitas pendidikan yang akan dirasakan oleh masyarakat Indonesia.
Orientasi pasar didalam dunia pendidikan kita semakin terasa. Komersialisasi pendidikan tidak dipisahkan lagi didalam dunia pendidikan kita sekarang ini. Melalui BHP (badan hukum pendidikan) pemerintah terhadap insitusi pendidikan diberikan kebebasan untuk menentukan kebutuhan rumah tangganya. Ketika fasilitas sekolah bukan menjadi satu kesatuan yang harus dipertanggung jawab oleh pemerintah maka yang terjadi adalah kebebasan yang ditentukan oleh institusi pendidikan secara otonom. Logika seperti itu bagus untuk diterapkan dalam dunia pendidikan yang memiliki dana cadangan lebih dan berada di daerah yang strategis di lingkungan masyarakat yang memiliki capital modal lebih. Tetapi menjadi kendala bagi dunia pendidikan kita ketika berada di lingkungan sekolah yang tidak memiliki dana cadangan yang lebih dan berada di lingkungan kurang trategis khususnya berada di daerah pinggiran kota yang notaben masyarakatnya kurang dalam pemenuhan capital modalnya. Ini menjadi hal yang serius dan harus dipikirkan untuk mencari jalan keluarnya agar hak-hak masyarakat yang tidak memiliki capital modal lebih dapat berpartisipasi didalam dunia pendidikan. Proses dialogis antara masyarakat dan pemerintah sebagai stakeholder pemerintahan harus terjalin agar tidak ada yang merasa dirugikan dan keluar dari jeratan krisis. Peran masyarakat akan semakin lemah dalam posisinya sebagai peserta dunia pendidikan.
Di Undang-undang BHP khususnnya pasal 34 ayat 4 mengenai peran peserta didik bahwa “Peserta didik dapat ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan kemampuannya, orang tua, atau pihak yang bertanggung jawab membiayai”. Ini menunjukkan bahwa posisi peserta didik menjadi obyek bagi pembiayaan didalam institusi pendidikan. Tidak layaknya sebagai subyek akuntabilitas (tanggung jawab) dari dunia pendidikan. Undang-undang BHP (badan hukum pendidikan) akan menimbulkan keadaan yang tidak kondusif di dunia pendidikan Indonesia sekarang ini khususnya daerah-daerah yang jauh dari pembangunan atau daerah tertinggal. Pandangan mengenai sekolah tidak boleh murah bukan hanya sebagai mitos belaka akan tetapi menjadi suatu realitas bagi kehidupan masyarakat Indonesia sekarang ini. Dengan kondisi krisis ekonomi sekarang ini masyarakat akan apatis untuk menyekolahkan anaknya. Karena masyarakat secara umum akan dihadapkan oleh realitas pendidikan mahal dan masyarakat miskin kota akan lebih berorientasi untuk menyuruh anaknya untuk turun ke jalan mencari Capital modal (piere bordieu) pendapatan untuk kelangsungan kehidupannya dan akan menumbuhkan krisis moral bangsa ini. Karena pendidikan adalah suatu arena bagi pembekalan kader-kader pemimpin bangsa ini. Jika berkurang arena pembekalan tersebut maka yang terjadi adalah krisis moral dan akan kembali pada zaman penjajahan dulu, hanya kaum bangsawan saja yang boleh menerima pendidikan. Inilah kondisi yang menjadi bagian dari kelangsungan proses kemandirian bangsa ini khususnya di dunia pendidikan.
Selain masyarakat yang disibukkan juga insitusi-institusi pendidikan akan merasakan dampak dengan adanya undang-undang BHP dari Tata kelola keuangan dan tata kelola mutu pendidikan. Sedangkan mutu pendidikan di Indonesia masih lemah. Banyak masyarakat Indonesia yang belum menikmati dunia pendidikan. khususnya di instansi pendidikan yang berstatuskan negeri akan semakin berorientasi pada kebutuhan mandirinya sebagai institusi yang diberikan wewenang dari pemerintah untuk mengelolanya sendiri. Tidak banyak nantinya isntitusi-institusi pendidikan berorientasi pada pasar. Logikanya, jika institusi pendidikan tidak dapat menjalankan tata kelola rumah tangganya dan vailid maka institusi pendidikan tersebut dibubarkan. Ini menunjukkan bahwa dunia pendidikan bukan sebagai tanggung jawab pemerintah tapi tanggung jawab isntitusi pendidikan sebagai aktor penyelenggara. Pemerintah tidak lagi sebagai pendorong terciptanya dunia pendidikan yang murah. Dapat dijelaskan dalam undang-undang BHP bab 2 pasal 4 ayat 1 mengenai posisi institusi pendidikan bahwa “Pengelolaan dana secara mandiri oleh BHP didasarkan pada prinsip nirlaba….”. Nantinya setelah proses waktu berjalan dari institusi pendidikan nirlaba menjadi insitusi pendidikan waralaba. Mungkin saja itu yang ingin dicapai oleh pemerintah dalam menetapkan regulasi di dunia pendidikan sekarang ini. Setelah menjadi lembaga waralaba akan berkamuflase menjadi perusahaan pendidikan dan berorientasi pada komersialisasi pendidikan. Komersialisasi pendidikan adalah penyelenggara pendidikan yang mementingkan keuntungan semata dalam menjalankannya serta tidak menggunakan keuntungan tersebut untuk kepentingan kemajuan pendidikan yang dilaksanakannya, misalnya untuk membangun fasilitas atau meningkatkan sumber daya manusia.
Selain itu, institusi pendidikan masuk dalam jerat hukum pasar dimana kebijakan dapat ditentukan pasar dan pasar-lah yang menentukan regulasi-regulasi terkait dengan kepentingan pasar. Target pasarnya adalah para masyarakat sebagai obyek alih bagi kelangsungan hidup institusi pendidikan. Pendidikan tidak bedanya sebagai perusahaan yang berorientasi pada keuntungan belaka bukan sebagai institusi yang berorientasi pada hasil atau mutu pendidikan. Sungguh ironis posisi dunia pendidikan kita sekarang ini, alih fungsi yang begitu cepat terjadi dalam kondisi Negara yang belum siap dalam kemandirian dan kualitas pendidikan.
Share on Google Plus

About PC IMM AR FAKHRUDDIN

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

1 komentar :

Nandria mengatakan...

setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan.harusnya semua warga negara baik yang miskin sekalipun mempunyai hak memperoleh pendidikan.pendidikan murah.jadi tidak ada istilah komersialisasi dalam pendidikan...