IMPLIKASI PENGETAHUAN TERHADAP REPRODUKSI KEKUASAAN


Oleh: Nurkholis

Pra Wacana
Tema soal kekuasaan merupakan salah satu persoalan sentral yang selalu diperbincangkan sampai hari ini. Dalam hal ini, wacana soal kekuasaan selalu dikaitkan dengan persoalan jabatan struktural. Ya, sumber konflik di dunia ini bisa dikatakan berakar pada nafsu untuk berkuasa, dimana keinginan untuk menduduki jabatan struktural telah dijadikan arena tempat dimana para aktor saling sikut dan saling intrik. Arena ini selalu diasosiasikan sebagai arena politik, yaitu sebuah arena dengan pertanyaan utama “siapa mendapatkan apa, dengan cara apa, kapan, dan bagaimana”. Ketika politik dimaknai dengan logika transaksional tersebut, disitulah aksi saling sikut dan saling intrik menjadi sesuatu yang lazim dalam proses berpolitik.
Berbicara tema kekuasaan tentunya sangat terkait dengan persoalan seberapa besar pengaruh yang dimiliki oleh aktor. Dalam hal ini, para aktor menjadikan arena politik untuk memperoleh jabatan yang lebih tinggi dalam rangka memperoleh pengaruh yang lebih besar. Maka tidak mengherankan mengapa menjelang proses Pemilu Presiden, tingkat pergesekan politik menjadi semakin tinggi. Hal ini disebabkan jabatan Presiden merupakan hirarki jabatan yang tertinggi dan memiliki legitimasi untuk mengeksekusi kebijakan politik secara nasional.
Berdasarkan hal di atas, pergesekan politik menjelang Pemilu menjadi tidak terelakkan, hal ini disebabkan proses politik hari ini telah dimaknai sebagai arena transaksi kekuasaan, bukan transformasi sosial ke arah yang lebih baik. Melihat hal ini, pemaknaan atas hakikat kekuasaan perlu didefinisikan ulang. Hal ini dilakukan guna membongkar bagaimana beroperasinya kekuasaan yang dalam logika umum dipahami berada pada struktur kekuasaan yang dalam hal ini struktur pemerintahan. Dengan memahami bahwa hirarki jabatan merupakan struktur untuk memperoleh pengaruh yang lebih besar, pertanyaan yang paling mendasar adalah, benarkah bahwa sumber utama kekuasaan berada di tangan negara.

Relasi Pengetahuan dengan Kekuasaan
Konsep kekuasaan (power) merupakan hal yang sentral. Kekuasaan secara tradisional difahami sebagai kemampuan mempengaruhi orang atau pihak lain untuk mengikuti kehendak si pemilik kekuasaan. Atau, daya pikat atau pengaruh yang dimiliki seseorang atau lembaga untuk memaksakan kehendaknya pada yang lain. Hampir seluruh ilmu sosial memakai pengertian ini secara konvensional. Kekuasaan dipandang bersifat represif, koersif dan opresif. Hingga saat ini begitulah kita memandang kekuasaan.
Untuk membongkar sumber utama kekuasaan, penulis menggunakan kerangka berfikir Michel Foucault yang telah menyumbangkan satu perspektif yang sangat orisinal dalam membaca dan memahami kekuasaan. Bagi Foucault, kekuasaan sesungguhnya tidak sesederhana seperti apa yang dikembangkan dalam ilmu-ilmu sosial selama ini. Baginya kekuasaan itu menyebar dimana-mana (“power is omnipresent”), meresap dalam seluruh jalinan relasi-relasi sosial, kekuasaan tidak berpusat pada individu-individu melainkan bekerja, beroperasi dalam konstruksi pengetahuan, dalam perkembangan ilmu dan pendirian-pendirian lembaga. Artinya, kekuasaan menurut Foucault terdistribusi di semua relasi sosial dan tidak dapat direduksi menjadi bangun dan determinasi ekonomi pusat atau menjadi karakter legal atau yudisial.
Kekuasaan itu menyebar sebagai konsekuensi pandangan bahwa kekuasaan tidak berpusat pada individu-individu atau negara. Kekuasaan menyebar melalui “seluruh struktur tindakan yang menekan dan mendorong tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, rayuan, paksaan dan larangan” (Haryatmoko, 2002: 11). Dengan demikian, kekuasan bukanlah sebuah represi. Secara tidak langsung, pandangan Foucault ini adalah kritik terhadap Hobbes dan Locke (bahwa kekuasaan dijalankan melalui kekerasan atau kontrak sosial), terhadap Marx dan Machiavelli (pertarungan kekuatan), dan terhadap Freud dan Reich (represi yang menekan), juga terhadap pandangan kekuasaan sebagai dominasi kelas dan manipulasi ideologi (Marx). Kekuasaan tidak unlocalised karena ia tidak bertumpu pada negara, partai politik, kepemimpinan, melainkan merupakan hubungan antar komunikasi, jaringan sosial, tatanan disiplin, meresap dan melekat pada setiap perbedaan dan kehendak individu dan kelompok. Kekuasaan itu beroperasi bukan dimiliki, kekuasaan itu strategi perkembangan sosial ketimbang alat kekuatan. Adalah menarik apa yang disebut Foucault sebagai “micro pouvoirs” atau “gugusan-gugusan kekuasaan lokal yang tersebar” (Haryatmoko, 2002: 12) yaitu keluarga, pabrik, sekolah, rumah sakit, penjara, birokrasi dan sebagainya. Melalui “kaki tangan-kaki tangan inilah” kekuasaan itu melakukan reproduksi dan bekerja dalam setiap lapisan sosial.
Sebagai tokoh yang menonjol dalam jajaran madzhab teori kritis, Foucault juga menyoroti hubungan kekuasaan dengan pengetahuan. Pandangannya tentang kekuasaan seperti di atas juga berakibat pada pembongkaran kolaborasi antara pengetahuan dengan kekuasaan, seperti halnya Habermas menemukan ketakterpisahan antara ideologi dan kepentingan. Kekuasaan juga inklusif dalam kehendak untuk mengetahui. Kehendak untuk mengetahui ini terumuskan dalam pengetahuan. Kekuasaan pengetahuan terkonsentrasi dalam kebenaran-kebenaran pernyataan-pernyataan ilmiah. Contohnya kaum positivisme percaya bahwa objektifitas itu ada. Untuk meyakinkan terhadap kebenaran klaimnya, maka dibuatlah serangkaian aturan atau prosedur untuk memperoleh dan menyebarkan kebenaran. Implikasinya adalah masyarakat ilmiah dituntut untuk mentaati konvensi-konvensi ilmiah karena konvensi memiliki otoritas. Disinilah terlihat adanya hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan. Dalam hal ini, ada hubungan kepentingan dan fungsional antara keduanya.
Dari uraian di atas dapat dilihat posisi penting pengetahuan dalam beroperasinya kekuasaan. Yakni kekuasaan juga inklusif dalam kehendak untuk mengetahui yang dalam hal ini posisi sosial seseorang sangat ditentukan oleh seberapa besar tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh orang tersebut. Artinya, tingkat pengetahuan yang tinggi dan akses jaringan sosial yang luas berimplikasi pada besar kecilnya pengaruh dari seseorang. Contoh yang sederhana adalah semain tinggi frekuensi membaca seseorang untuk memperoleh pengetahuan, berimplikasi pada tingkat penguasaan orang tersebut pada ranah wacana pengetahuan. Dimana pengetahuan dibentuk oleh kekuasaan dan kekuasaan menghasilkan pengetahuan.
Dengan melihat relasi kekuasaan dengan pengetahuan, sudah tertangkap inti gagasan tentang kekuasaan yang tidak berpusat pada individu atau negara, tapi sesuatu yang bergerak dalam jaringan sosial. Karena ia menyebar dan bekerja mengendalikan banyak orang, komunitas, kelompok, kepentingan dan sebagainya, maka sifatnya menjadi produktif -bukan represif- dan memiliki kekuatan menormalisasikan hubungan-hubungan masyarakat. Dari Foucault pandangan positif tentang kekuasaan mulai muncul. Kekuasaan dalam hal ini difahami sebagai strategi kuasa yang berbelit-belit dan harus dipahami dari dalam, yakni lewat aturan, nilai yang berlaku, bahkan juga tutur kata dan kebiasaan.

Menebar Kata Menuai Kuasa
Jurgen Habermas salah seorang tokoh teori kritis mengatakan bahwa bahasa merupakan medium dominasi dan kekuasaan. Artinya, kekuasaan beroperasi efektif lewat kegiataan berbahasa, yakni lewat proses komunikasi. Dengan demikian dapat difahami bahwa kekuasaan tidak dapat dilokalisir, ia menyebar dimana-mana dan meresap dalam seluruh jalinan relasi-relasi sosial yang beroperasi dalam konstruksi pengetahuan dimana kekuasaan tidak terbatas hanya ada pada struktur negara.
Sebelum lebih jauh mengelaborasi persoalan bahasa dan kekuasaan, terlebih dahulu kita harus memahami definisi dan fungsi bahasa. Menurut Ferdinand de Saussure bahasa pada prinsipnya adalah perangkat yang didasarkan pada konvensi sosial. Dalam penggunaannya sehari-hari, bahasa tidak dapat dilepaskan dari sistem pemaknaan tertentu yang dipakai untuk menunjuk suatu realitas. Sistem inilah yang disebut tanda. Oleh sebab itu, bahasa bukanlah sekedar kata-kata, melainkan juga semesta tanda. Dari penjelasan tersebut, dapat pahami bahwa bahasa merupakan sistem pemaknaan atas tanda-tanda. Dimana pemaknaan atas tanda-tanda tersebut, didasarkan pada konvensi sosial yang digunakan untuk menunjuk suatu realitas.
Dengan memahami bahwa kekuasaan menyebar melalui seluruh struktur tindakan yang menekan dan mendorong tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, rayuan, paksaan dan larangan, dapat dilihat posisi bahasa dalam strategi dan operasi kekuasaan. Artinya, kekuasaan tidak bertumpu pada kepemimpinan, melainkan merupakan hubungan antar komunikasi, jaringan sosial maupun tatanan disiplin. Kekuasaan itu beroperasi bukan dimiliki, kekuasaan itu strategi perkembangan sosial ketimbang alat kekuatan. Dalam hal ini kekuasaan bereproduksi dan bekerja dalam setiap lapisan sosial yang dalam hal ini merupkan gugusan-gugusan kekuasaan lokal yang tersebar. Yakni melalui keluarga, pabrik, sekolah, rumah sakit, penjara, birokrasi dan sebagainya.
Dari sini, konfigurasi baru kekuasaan tersebut tidak lagi terobsesi pada narasi-narasi besar, melainkan menjelma dalam praktik wacana yang dekat dengan kita. Peralihan pola tersebut selaras dengan kecenderungan “pembalikan ke arah bahasa”. Dari sini kita dapat menguak modus operandi kekuasaan yang terpatri di dalam praktik bahasa/wacana sehingga melahirkan kuasa bahasa/wacana sebagai sebuah mekanisme sosial untuk mereproduksi kekuasaan. Hal ini menjelaskan bagaimana peralihan pemaknaan atas kekuasaan dari macro-power ke micro-power.

Bahasa, Pengetahuan dan Pertarungan Kekuasaan
Penggalangan kekuasaan dan penyebaran keyakinan-keyakinan politik lazimnya dilalui melalui penggunaan kekerasan fisik. Dalam ruang politik yang diktator, misalnya, pihak yang berkuasa mengendalikan yang dikuasainya lewat kekerasan fisik, entah berupa teror, intimidasi, penangkapan, dan lainnya. Kini, cara yang efektif untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan dapat beroperasi melalui teknik yang lebih halus yaitu dengan merayu, membujuk orang untuk patuh secara sukarela. Dalam hal ini bahasa berfungsi untuk mempengaruhi orang lain.
Agar seseorang maupun sebuah kelompok bisa memeroleh kekuasaan, mereka mengarahkan serta membujuk orang yang dikuasainya untuk mengikuti apa yang diinginkan oleh yang berkepentingan. Tidak saja bertujuan memperoleh kekuasaan, teknik ini juga bisa dipakai buat melestarikan atau memelihara kekuasaan. Agar ini bisa tercapai, diciptakanlah sistem simbol berupa bahasa, gugus wacana, slogan, dan lainnya yang kemudian menjadi mekanisme untuk membuat keyakinan-keyakinan yang berkuasa dapat tertanam kepada yang dikuasainya. Mekanisme ini menjadikan kepentingan penguasa menjadi “wajar” dan “masuk akal” untuk diikuti oleh orang lain. Begitu lembutnya hingga menutupi relasi kekuasaan dan kekerasan yang sedang bekerja di mana kekuasaan seolah-olah lepas dari kekerasan atau begitu pun sebaliknya (Fashri, 2007: 65).
Persoalan tersebut telah memperlihatkan posisi bahasa dan keterkaitannya dengan arena kekuasaan. Ia bisa bertujuan sebagai alat memperoleh kekuasaan dan juga untuk melestarikan kekuasaan. Dengan demikian, posisi pengetahuan menjadi sesuatu yang teramat sentral dalam pertautan bahasa dan kekuasaan. Yakni sebagai syarat untuk menguasai wacana, dimana untuk mempengaruhi orang lain melalui bujukan, rayuan, maupun larangan, seseorang membutuhkan pengetahuan agar kata-katanya mampu mempersuasi dan diterima secara logis oleh orang lain.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa pertarungan kekuasaan yang beroperasi setiap hari disekeliling kita merupakan pertarungan tingkat pengetahuan untuk mendominasi wacana di ruang publik. Dimana syarat untuk memperoleh jabatan struktural pun dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan yang tinggi untuk mewacanakan sesuatu secara logis, kemampuan berkomunikasi secara efektif, dan jaringan sosial yang luas. Artinya, hakikat kekuasaan bukanlah terletak pada Negara maupun jabatan struktural sebagaimana lazimnya logika umum, tetapi terletak pada strategi beroperasinya kekuasaan yang bereproduksi melalui praktik bahasa/wacana. Dalam hal ini kekuasaan menyebar melalui seluruh struktur tindakan yang mampu menekan dan mendorong tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, rayuan, paksaan dan larangan. Dengan demikian, kekuasaan merupakan sesuatu yang bergerak melalui jaringan sosial.

Mantan Kabid. Hikmah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
Cabang A.R Fakhruddin
Kota Yogyakarta periode 2007-2008.
Share on Google Plus

About PC IMM AR FAKHRUDDIN

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :