Revolusi dan Masyarakat Islam yang Sebenar-benarnya



Oleh | Mas’udi Baharuddin**


Perubahan radikal sebagai sebuah cita-cita ideal yang tidak akan pernah ada dalam kepala seseorang, tatkala kondisi yang mengitarinya secara obyektif mengindikasikan bahwa tidak ada hal yang perlu diubah. Namun sebaliknya, realitas yang kerusakannya semakin akut akan membuat orang banyak berpikir tentang perubahan dan menjadikannya sebagai agenda yang patut mendapat perhatian penting.
Realitas masyarakat dunia yang berkiblat pada peradaban kapitalistik dewasa ini secara signifikan berimpilikasi negatif terhadap eksistensi peradaban kemanusiaan secara menyeluruh. Seluruh sisi kehidupan manusia kian mengalami kerusakan akibat mengguritanya nilai-nilai kapitalistik yang kemudian ‘memaksa’ banyak kalangan untuk berikhtiar membangun peradaban baru yang lebih santun.
Komunitas mahasiswa sebagai kelas masyarakat mekanik memilki banyak bekal yang dapat dimaksimalkan bagi upaya perubahan yang terus digelontorkan. Mereka juga menempati posisi strategis dalam roda perubahan yang tengah bergulir. Olehnya, tidak layak jika seorang mahasiswa bersikap apatis terhadap realitas yang kian rusak dan jauh dari nilai-nilai ideal. Sebagai agen perubahan, seorang mahasiswa memiliki peranan penting dan harus peka, responsif serta turut ambil bagian dalam mengusung peradaban baru yang lebih baik bagi masyarakat dunia secara umum. Aktivitas keorganisasian jangan sampai hanya menjadi rutinitas belaka yang kehilangan orientasi perubahan fundamental. Diskusi-diskusi yang bermuara pada perubahan radikal harus kembali dihidupkan dan mewujud dalam bentuk aksi konkrit. Teori-teori tentang perubahan tidak layak jika hanya menjadi kegaduhan di forum-forum debat, diskusi, dialog dan sejenisnya, tapi kehilangan sisi aplikasinya di lapangan. Para aktivis bukanlah kumpulan orang yang maksim teori namun minim aksi. Tapi sebaliknya, kata dan lakunya harus berbanding lurus.
Telah jamak diketahui bahwa tanggungjawab untuk memperbaiki kemerosotan peradaban tak dapat dipikul oleh individu. Ia harus menjadi kesadaran kolektif di mana setiap orang dapat memahami apa yang menjadi tugas utamanya. Dari kesadaran inilah kemudian muncul gerakan secara massif. Organisasi yang bermunculan dalam berbagai variannya dapat dimaknai sebagai implikasi kesadaran berjamaah yang ada dalam diri setiap orang. Dengan kata lain, berorganisasi telah menjadi naluri setiap orang dalam tinjauan psikologi sosial. Perubahan memang keniscayaan, tapi nyaris mustahil dipikul seorang diri.
IMM sebagai organisasi otonom sekaligus sayap dakwah Muhammadiyah di lingkungan mahasiswa memiliki potensi yang sebaiknya dimaksimalkan dalam proses perubahan yang terus bergulir. Setiap komponen dalam Ikatan diharapkan memiliki kepekaan terhadap pembentukan peradaban yang ideal dan membawa kemaslahatan bagi kehidupan kemanusiaan lintas suku, warna kulit, bahasa, bangsa, bahkan agama dan keyakinan.
Pertanyaan asasi yang perlu dijawab lintas gerakan Islam sekarang ini adalah perubahan seperti apa yang sebenarnya dicita-citakan? Pertanyaan ini amat urgen untuk dilontarkan sebagai ikhtiar dalam menyamakan persepsi agar format dan energi gerakan menjadi efektif serta efisien dalam tataran praksis di lapangan. Juga dalam rangka membangun komitmen bersama bahwa semua gerakan Islam bermuara pada satu tujuan yang dicita-citakan secara kolektif. Dengan demikian, interaksi yang sejuk lintas gerakan Islam juga dapat dibangun.
Kajian terhadap realitas menjadi sangat penting untuk digalakkan dalam usaha menentukan format gerakan. Dengan mengamati realitas peradaban dunia saat ini yang terutama dimotori pihak Barat yang kapitalistik, dapat disimpulkan bahwa kerusakan yang ditimbulkan ternyata bersifat sistemik-multidimensional. Dari sisi ekonomi, peradaban kapitalis membuka kran selebar-lebarnya buat perampokan yang dilakukan oleh orang-orang berdasi yang amoral di mana kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin menganga dengan ekonomi neo liberalnya. Dalam bidang politik, bermunculan politikus dengan mental-mental pragmatis, sehingga aspirasi masyarakat secara luas seringkali tak terwakili oleh mereka yang mengaku wakil rakyat. Kenaikan harga BBM di tanah air menarik untuk dijadikan sebagai contoh kasus, dalam hal ini kesenjangan antara aspirasi dan kenyataan yang ada menjadi sangat jelas. Sebab, masyarakat luas tak pernah meminta agar harga BBM dinaikkan, bahkan kebanyakan mereka mengeluhkan kebijakan tersebut. Sementara itu, dalam bidang budaya, pihak Barat sengaja mengimpor budaya hedonis yang pada gilirannya memunculkan masyarakat amoral. Dalam bidang pendidikan, terjadi kapitalisasi yang bermuara pada sebuah kenyataan bahwa pendidikan hanya mungkin dinikmati oleh kelas masyarakat berduit. Demikianlah, Implikasi negatif peradaban kapitalis menyentuh hampir seluruh sisi kehidupan manusia. Dengan demikian, agenda perubahan yang digalakkan harus bersifat revoluioner, bukan parsial.
Sementara kalangan memang seringkali beranggapan bahwa revolusi berpotensi menumpahkan darah dan menelan banyak korban. Persepsi seperti ini sedikit banyak dipengaruhi oleh trauma terhadap revolusi yang dijalankan ideologi-ideologi lain di luar Islam. Pada dasarnya, jika gagasan revolusi diusung sesuai alur berpikir Islami, maka tidak berpotensi membawa pertumpahan darah dan jauh dari aktifitas kekerasan secara fisik, sekalipun tentunya terdapat gejolak yang memang tak dapat dihindari dan sangat wajar dalam proses perubahan dalam bentuk apapun. Sebab, dalam proses perubahan radikal memang selalu terjadi benturan antar peradaban dan ideologi yang tak mungkin dielakkan. Benturan yang ada dalam revolusi Islam adalah benturan pemikiran dan ideologi yang terus digulirkan sampai peradaban kapitalis menemui ajalnya dan tiba saatnya diganti dengan peradaban Islam yang membawa kemaslahatan bagi kehidupan kemanusiaan secara umum.
Sementara itu, sebagian pihak berasumsi bahwa revolusi adalah gagasan yang terlalu muluk-muluk, irealistis, hiper-idealis dan tentunya ‘berbahaya’ bagi status quo yang masih dipertahankan. Para aktivis yang mengusung ide revolusioner selalu dicap sebagai ekstrimis, anti dialog, keras kepala, dan tak mau kompromi. Padahal, revolusi adalah gagasan yang relevan dan justru sangat realistis karena kondisi zaman memang menuntut perubahan revolusioner berdasarkan hasil kajian terhadap realitas yang tingkat kerusakannya sudah tak dapat dimaafkan. Maka realistisitas dapat dimaknai sebagai kesesuaian antara cara bersikap dengan realitas obyektif yang ada.
Tidak sedikit dari kalangan aktivis muslim yang beranggapan bahwa peradaban kapitalis harus diubah secara bertahap. Menurut mereka, Islam memang merupakan solusi bagi kemerosotan peradaban, namun harus diterapkan secara bertahap. Alasan yang seringkali terdengar adalah bahwa Al-Qur’an diturunkan secara bertahap sesuai dengan peristiwa-peristiwa tertentu. Analogi semacam ini tampaknya kurang tepat, karena tidak terdapat korelasi antara metode perubahan peradaban sekarang ini dengan proses diturunkannya Al-Qur’an secara bertahap. Perubahan secara gradual hanya mungkin dilakukan jika kerusakan realitas bersifat parsial. Namun menjadi tidak relevan untuk dijadikan metode dalam pembentukan format gerakan jika kenyataan menunjukkan bahwa kerusakan yang akan diubah pada kenyaataannya bersifat fundamental dan multidimensional. Dalam hal ini, kenyataan zamanlah yang membentuk format gerakan.
Konsep perubahan lain yang perlu dikritisi adalah pernyataan bahwa perubahan harus dimulai dari individu dengan asumsi bahwa masyarakat adalah kumpulan individu. Maka terciptanya individu-individu dengan akhlak dan hati yang bersih yang kemudian menjadi dominan di tengah-tengah masyarakat secara otomatis akan mengubah kondisi masyarakat menjadi lebih baik. Gagasan ini membawa kesan tidak logis, sebab masyarakat tidak hanya merupakan kumpulan individu, mereka berinteraksi satu sama lain berdasarkan sebuah aturan hidup dan ideologi tertentu yang dalam hal ini ideologi kapitalis. Pun terdapat pemikiran-pemikiran yang berkembang di tengah-tengah mereka. Perubahan yang dicita-citakan harus bersifat menyeluruh, baik dalam hal pemikiran, moral, maupun secara ideologis. Kegagalan ideologi kapitalis dalam membangun peradaban kemanusiaan yang berkeadaban membuatnya memang layak untuk diasingkan dalam keranjang sampah peradaban. Oleh karena itu, para aktivis sebaiknya melihat persoalan yang tengah dihadapi secara mendasar, obyektif dan menyeluruh. Selaku agen perubahan, seorang mahasiswa sepatutnya tidak berpikir seadanya, alakadarnya dan minimalis, namun diharapkan memilki idealisme dan berpandangan jauh ke depan melampaui kelas masyarakat lain.
Usaha dekonstruksi peradaban kapitalis harus dibarengi dengan usaha perumusan sebuah peradaban alternatif sebagai sebuah solusi di mana peradaban ini disosialisasikan kepada khalayak umum dan telah dideskripsikan dengan baik jauh sebelum kejatuhan peradaban kapitalis. Prinsip tiba masa tiba akal dihindari sedemikian rupa agar peradaban dunia tidak berada pada kondisi serba tidak pasti pasca revolusi menuju peradaban baru yang menjadi idealisme bersama.
Masyarakat Islam adalah muara dari revolusi yang digalakkan lintas gerakan Islam karena masyarakat Islam adalah model masyarakat ideal yang harus diyakini bersama dapat melahirkan peradaban yang memuaskan semua pihak, baik antar suku, bahasa, bangsa, warna kulit, bahkan agama dan keyakinan. Perumusan potret masyarakat Islam dapat dikawal oleh berbagai lintas gerakan Islam termasuk di dalamnya Muhammadiyah sebagai organisasi yang memiliki basis massa yang diperhitungkan. Apalagi, dalam konteks kemuhammadiyahan, masyarakat Islam telah diposisikan sebagai maksud dan tujuan utama Persyarikatan, sekalipun secara internal, bentuk masyarakat Islam yang menjadi idealisme persyarikatan Muhammadiyah juga masih diperbincangkan.
Masyarakat Islam terkadang diidentikkan layaknya civil society. Padahal, konsep civil society secara historis memiliki konteksnya sendiri yang justru jauh dari nilai-nilai Islam. Civil society lahir dari rahim peradaban Barat yang kelam di mana terjadi kegelisahan atas dominasi kaum gerejawan yang mulai bertidak represif atas nama tuhan. Sementara itu, kaum intelektual merumuskan konsep civil society sebagai pra kondisi bagi terbelenggunya peran agama melalui proses sekularisasi yang kemudian melahirkan demokrasi sebagai sistem politik yang diyakini dapat menggantikan peran kaum agamawan dalam sistem politik monarki. Dalam konteks ini, konsep masyarakat Islam kehilangan makna otentiknya dan lebih cenderung dimaknai layaknya masyarakat sekular yang membatasi peran agama (baca: Islam) dalam kehidupan bermasyarakat.
Civil society juga tak layak dibumbui dengan istilah yang terkesan Islami dengan menganalogikannya seperti “masyarakat madani” yang mengacu pada konsep masyarakat yang pernah dibangun Rasulullah saw. kurang lebih empat belas abad silam. Sebuah pemikiran ataupun konsep tak patut ditafsirkan dengan mengacu pada sesuatu yang berada di luar konteksnya. Hal ini pada gilirannya akan membuat kejernihan konsep masyarakat Islam menjadi keruh di tengah-tengah warga Persyarikatan, hanya karena labelisasi berbau Islam yang tidak proporsional.
Wacana mengenai definisi masyarakat Islam dalam konteks ini tidak hanya relevan untuk kembali diperbincangkan, tetapi sangat penting sebagai sesuatu yang semestinya menjadi master plan lintas gerakan Islam. Dalam kerangka pemikiran Islami, definisi masyarakat Islam mengacu pada masyarakat yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. di Madinah. Sebagai seorang revolutor terkemuka yang pernah ada, Muhammad saw. dapat dijadikan rujukan dalam meletakkan pondasi bagi pembangunan masyarakat Islam sebagai kiblat peradaban dunia yang menyejukkan di tengah kegersangan dan kemerosotan moral dewasa ini. Islam menjadi acuan utama dalam proses pembentukan masyarakat Islam sebagaimana diindikasikan dalam maksud dan tujuan Muhammadiyah, menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam adalah kausa bagi terbentuknya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Perubahan fundamental yang dicetuskan Rasulullah saw. juga berdampak positif pada perkembangan dunia dalam berbagai dimensi. Jazirah Arab yang tadinya tak diperhitungkan dalam percaturan politik internasional tiba-tiba muncul ke permukaan dan menjadi peradaban yang disegani bangsa lain. Peradaban Islam telah mampu melahirkan praktik kerukunan antar suku, bahasa, warna kulit, bahkan antar umat beragama di mana setiap keyakinan dapat hidup berdampingan secara harmonis di bawah naungan Islam di saat kerukunan lintas agama di pihak lain justru baru mewacana. Pada masa-masa berikutnya, kemajuan dalam berbagai bidang dapat diraih umat Islam yang kemudian menjadi kiblat peradaban dunia dalam rentang waktu belasan abad lamanya.
Masyarakat Islam seperti inilah yang semestinya dibangun bersama sebagai titik terang dan jalan keluar dari gelapnya lorong krisis multidimensi yang mengitari peradaban kemanusiaan secara keseluruhan. Para aktivis Muslim sebaiknya memiliki mental yang berkeyakinan bahwa peradaban Islam lebih unggul dari yang lain. Ini soal mental, karena ide dan gagasan di luar Islam seringkali lebih silau. Mengapa harus mencari ‘produk luar’ jika ‘produk lokal’ lebih berkualitas! Dalam lintasan sejarah, hanya peradaban Islam yang memiliki kemampuan untuk mengungguli peradaban Barat yang menjadikannya layak dikaji. Terlalu ideal memang, tapi bagaimanapun para aktivis, mahasiswa, akademisi, kaum intelektual muslim maupun mereka yang memiliki idealisme akan selalu mempunyai keberanian untuk bercita-cita ideal bagi kepentingan dan kemaslahatan peradaban dunia yang lebih baik.
Fastabiqul Khairāt
Wallāhu a’lam bishshawāb.

**Mantan Ketua IMM Komisariat Pendidikan Ulama Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah [PUTM], Yogyakarta)
Share on Google Plus

About PC IMM AR FAKHRUDDIN

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

1 komentar :

Anonim mengatakan...

bagus ni.., saya akan menyelidiki lebiih jaug lagi..