Politik DPR ala “Machiavelli”

Oleh Imam Mahdi
Segelumit pekerjaan rumah yang tidak bisa dikerjakan oleh anggota DPR semakin memberikan indikasi bahwa mereka adalah aparatur yang tidak bisa dijadikan model politik ideal. Dalam menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat mereka malah melakukan “pemerkosaan” atas nama rakyat. Masa reses yang sedianya digunakan untuk menyerap aspirasi dari “akar rumput” malah digunakan untuk plesiran keluar negeri. Sehingga ada kesan mereka bukan anggota DPR, tapi duta politik Indonesia untuk urusan ke luar negeri. Andai out put dari studi banding ber-impact positif terhadap kinerjanya tentu dapat dimaklumi, akan tetapi dari beberapa studi banding yang dilakuikan tidak sedikitpun memberikan kontribusi positif terhadap integritas mereka sebagai wakil rakyat.
Seperti yang diwartakan oleh Kompas tanggal 15 dan 16 Mei 20111 membuktikan bahwa anggota dewan sudah mempersiapkan diri untuk melanjutkan status quo di Senayan. Dan cara terbaik untuk melanjutnya dengan memanipulasi anggaran agar bisa masuk ke “bank saku” sendiri. Ini tidak hanya dilakukan oleh anggota salah satu partai tapi seluruhnya. Seakan dalam politik agenda utamanya adalah mendapatkan uang sebanyak-banyaknya untuk kepentingan sendiri dengan mengorbankan kepentingan rakyat.
Image negatif yang mendera para anggota dewan seakan tidak menunjukkan adanya perubahan. Mereka tidak malu dengan apa yang telah mereka perbuat. Ketidaksesuaian antara perkataan dan perbuatan merupakan cirri orang munafik, namun mereka mengangapinya dengan santai, seolah tidak punya dosa pada rakyat.
Anggota DPR idealnya memberikan citra positif terhadap rakyat. Mereka sepantasnya menjadi panutan atau sebuah model “pengabdian“ pada rakyat. Harapan anggota dewan menjadi panutan berubah menjadi caci dan makian, janji yang sudah terlanjur terucap tidak mampu diaplikasikan dalam tataran riil. Maka beralihlah arus politik ideal menjadi politik Macheavelli bahwa seorang penguasa yang bijaksana tidak harus memegang janji.
Rasa pesimis terhadap wakil rakyat kini menjadi “virus” yang semakin luas dimasyarakat. Tindakan kontroversial kian memperjelas bahwa mereka sejatinya tidak mempunyai kapabilitas menjadi wakil rakyat. Tengoklah hasil studi banding ke Australia, alih-alih mendapatkan informasi cara tepat untuk menangguli kemiskinan anggota dewan malah membuat stigma negatif karena tidak tahu alamat email institusinya. Bila kita berpikir logis, bagaimana mungkin anggota dewan punya solusi konkrit memberantas kemiskinan jika mereka sendiri tidak tahu media komunikasi dengan konstituenya.
Citra negatif itu juga dipertontonkan oleh ketua DPR sendiri, yang tidak prosfesional dan berjiwa besar terhadap kritikan rakyat tentang rencana pembangunan gedung DPR yang baru. Marzuki Ali malah memberikan statement yang menyakiti “sanubari” rakyat. Toh ini semakin memperjelas pantas atau tidaknya mereka sebagai wakil rakyat.
Kelakuan salah satu anggota dewan yang menonton video porno ketika rapat menyadarkan kita tentang “keseriusan” mereka dalam menyuarakan aspirasi rakyat. Jangankan untuk mendengarkan atau memikirkan masalah rakyat, mereka malah sibuk untuk memperturutkan hawa nafsunya sendiri.
Kedudukan mereka sebagai anggota dewan sudah semestinya memberikan contoh, tauladan yang baik sebagai wakil rakyat. Bahkan pernah penulis mendengarkan sebuah pernyataan yang dilontarkan oleh salah satu anggota dewan”masyarakat itu jauh lebih oportunis dari pada anggota dewan, kegiatan apapun mereka minta uang”. Ini menunjukkan persepsi anggota dewan sendiri terhadap masyarakat sudah eror.
Fasilitas yang super wah, tunjungan yang berlimpah, dan gaji yang berlipat tidak sepadan dengan kinerja yang dilakukan. Jika kita kalkulasikan maka setiap langkah dan gerak anggota dewan bernilai uang, menelopon siapapun diberikan uang komunikasi, berjalan sedikit diberikan uang transportasi, melakukan investigasi diberikan uang lembur, sampai tunjagan rumah juga diberikan. Belum sampai disitu, mau berkunjung ke konstituen juga diberikan uang, jalan-jalan keluar negeri diberikan uang, uang dan uang itulah modal utama anggota dewan. Predikat sebagai salah satu aparatur yang mendapatkan “kelebihan” didapatkan oleh para anggota dewan.
Jika kita runtut semenjak terlaksananya sistem demokrasi di Indonesia kinerja anggota dewan stagnan pada masalah image. Mereka selalu mendapat sorotan tajam karena tugas yang tak pernah dilaksankan. Permasalahan ini pula yang mendera anggota dewan saat ini. Walau demikian ada anggapan bahwa ini hanya setting media yang ingin mendiskreditkan citra anggota dewan, sehingga hal sepele yang tidak patut untuk dipublikasikan malah dieskpos secara berlebihan. Akan tetapi pada kenyataannya penulis menilai bahwa memang orang-orang yang duduk senayan adalah orang yang tidak mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang mumpuni, kalaupun ada hanya sebagian kecil.
Melihat fenomena dan tingkah laku anggota dewan saat ini, maka tentu kita akan berpikir jauh ke depanya. Para wakil rakyat sudah menjalankan tugasnya lebih dari satu tahun, akan tetapi masalah sosial-kultural dalam masayarakat tak kunjung memperlihatkan perbaikan, yang ada malah degradasi.
Masa jabatan anggota dewan kurang dari empat tahun lagi. Melihat gerak geriknya selama ini maka yang ada hanya jalan buntu untuk menuju sebuah tatanan pemerintahan yang berpihak pada rakyat. Masa jabatan yang baru satu tahun lebih saja sudah memperlihatkan permasalahan internal anggota dewan sangat complicated, apalagi sampai empat tahun mendatang.
Sebenarnya jika anggota dewan memang bijak tentu ini menjadi refleksi bagi mereka. Perjalanan suram, dan mengecewakan masyarakat bisa dijadikan landasan untuk intropeksi institusi. Mereka tidak berkutat lagi pada permasalahan yang tidak subtansial, sebab masyarakat sudah menunggu lama aggota dewan untuk terjun ke bawah, mendengarkan dan menyampaikan keluh kesah yang mendera.
Meminjam tujuan politik ala “Almawardi” maka seharusnya anggota dewan merefleksikan diri menuju humanisasi, sehingga martabatnya tidak jatuh dalam kehinaan. Jika ini tidak dilaksanakan, maka selamanya anggota dewan hanya tempat empuk para koruptor, kaum munafik dan mafia politik.
Share on Google Plus

About PC IMM AR FAKHRUDDIN

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :