Kader IMM: Aktivisme Yang Seperti Apa?


Oleh : Dewi Setiyaningasih*)
 
Intelektualisme dan aktivisme, adalah dua hal yang berkelindan dan tidak bisa dipisahkan, sepeti halnya tinta dan kertas. Begitupun Ikatan ini ( sebutlah ini Ikatan), jika kita menengok tanfidz maka akan kita temukan kalimat berikut “Tujuan IMM adalah mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah”, bahwasannya terdapat dua poin penting disana yang sifatnya tidak berbeda dengan dua sisi bakpia, bukan bakpao. Yang pertama yakni perkaderan (terbentuknya akademisi islam berakhlak mulia), untuk menghasilkan akademisi yang diidealkan oleh Ikatan, seorang kader harus ditempa seperti pedang, di bakar layaknya tembikar dalam beberapa waktu. Yang kedua adalah gerakan sosial (mencapai tujuan Muhammadiyah), mengingat tujuan muhammadiyah tidak lain adalah menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, juga jika mengingat pesan Ahmad Dahlan mengenai tafsir Al-Ma’un, maka kerja-kerja sosial yang berbasis masyarakat lah yang sebenarnya ditempuh, terlepas dari Muhammadiyah yang menyebut diri sebagai Ormas, sebagai gerakan dakwah, sebagai gerakan pembaharuan Islam, atau sebagainya. Apapun itu, jikalau kita menyapa kembali Ahmad Dahlan pada waktu itu, saya kira sosok aktivis lah yang kita jumpai pada diri beliau. Apa yang dikerjakannya tidak jauh-jauh dari pemaknaan sebuah gerakan sosial yang berlandaskan nilai-nilai Islam.

Layaknya fungsi perkaderan ikatan, maka orang-orang yang menjadi bagian dari ikatan akan dididik dan dibekali nilai-nilai yang sesuai dengan tujuan. Istimewanya, selain tidak adanya larangan khusus bermain gaple, Ikatan tidak memulai dari bacaan-bacaan yang mendoktrin dan menggurui. Ikatan tidak menganjurkan untuk membaca Das Kapital terlebih dahulu demikian juga tidak membaca Hasan Al Bana ataupun juga Hasan Hanafi terlebih dulu. Ikatan juga tidak memiliki buku perkaderan wajib semacam NDI ataupun DBR punya Soekarno yang dapat berakibat pada pengkultusan terhadap tokoh tertentu, namun bukan berarti Ikatan tidak memiliki landasan konseptual perkaderan. Ikatan memulai pijakannya dari hal-hal filosofi, namun bukan filsafat mengenai periodesasi teks semata, akan tetapi mengenai epistemologi pengetahuan, yang mendasarkan pijakanya pada wahyu dan tiga intrumen lainnya, setelahnya kader mendalami tauhid lebih jauh sebagai hal-hal yang intuitif dan rasional, menelaah perkembangan ilmu dan peradaban sebagai hal-hal yang empiris hingga teori-teori sosial sebagai alat analisa sosial. Kita memakai pemikiran-pemikiran cendekia Eropa abad pencerahan dan setelahnya dengan tidak menafikan asal usulnya yang dari para cendekia Muslim (yang nantinya juga menyentuh ranah tasawuf), juga tidak melupakan jasa Yunani yang telah memulai. Sehingga, (setidaknya saya, sebagai kader IMM) memahami munculnya sosialisme sebagai bagian dari teori sosial yang dikonstruksi pengalaman faktual dan intelektual selama berabad-abad, begitupun liberalisme dan isme-isme lainnya, hanyalah merupakan terminologi hasil dari pemecahbelahan gagasan dan pendikotomian perspektif. Maka, ikatan tidak pernah memposisikan kanan ataupun kiri karena tidak terjebak pada pendikotomian tersebut. Kader-kader ikatan memiliki corak keilmuan masing-masing dengan pijakan yang sama, tidak mengkotak-kotakan kanan ataupun kiri dan yang paling penting tidak mudah menganggap yang berbeda sebagai liyan apalagi sampai membuat diktum pihaknyalah yang paling benar, jikapun ada cetak kader ikatan yang demikian, mungkin ada yang terlewat dalam proses kadearisasinya. Proses perkaderan dimana nalar dibangun inilah bentuk dari epistimologi Ikatan.

Setelah selesai dengan kontruksi berpikir yang demikian, maka diharapkan kader-kader ini mampu menjalankan kerja-kerja sosial yang berpihak pada kelas yang terlemahkan, memperbaiki tatanan sosial di ranah akar rumput hingga pembuat kebijakan, sebagai aksiologi atas nalar yang telah dibangun dalam wilayah perkaderan. Dalam hal ini ikatan menjalankan fungsi aktivisme. Itu yang saya sebut intelektualisme dan aktivisme tidak bisa dipisahkan. Kemudian yang ingin saya bicarakan, terkait aktivisme. Jika dulunya saya berasumsi bahwa aktivisme harus selalu diwujudkan dalam bentuk gerakan sosial yang berwajah tampan dan maskulin seperti sorak sorai di jalan, berlarut-larut dalam mengutuki pemerintah dan elit, perlawanan via teks dan verbal, maka hari ini saya kurang sepakat akan hal itu, karena manifestasi gersos bukan selalu dalam rupa aksi kolektif yang tangible. Yang kita (setidaknya saya) ketahui selama ini bahwasannya gersos muncul sebagai akibat dari ketidakpuasan masyakarakat terhadap realitas sosial, maka ia selalu gagah menampakan diri dalam sebuah bentuk kolektif berjumlah besar, terorganisir, memiliki isu strategis, memiliki basis masa yang jelas dan memiliki pola serta strategi advokasi. Diterawang secara sederhana dengan meminjam konsep Gramsci, gersos wujudnya adalah suatu kelompok dalam civil society yang memiliki potensi dalam menandingi pihak hegemoni dalam hal ini ialah pemerintah (kontra-hegemoni). 

Gerakan Zapatista di Meksiko mungkin bisa menjadi contoh atas gagasan Gramsci ini, karena mereka berhasil memenangkan hegemon position dalam aktivitas sosial yang dalam bahasa Gramsci disebut war of position, gerakan ini mampu mendapat kepercayaan masyarakatnya ketimbang wacana pemerintah. Muncul juga gersos dalam bentuk NGO-NGO, isunya lebih spesifik, agendanya lebih rapi seperti mengadakan kambingisasi, bebekisasi, warungisasi, di desa-desa namun karena tergantung pada donor lama-lama mereka terkooptasi juga oleh para pemilik modal, lain halnya dengan gersos dalam bentuk serikat-serikat pekerja, tidak mengandalkan donor, secara organisatoris tidak begitu rapi, dan agenda utamanya menekan hegemoni. Gersos lainnya berwujud gerakan lokal seperti di Kulonprogo, Rembang, dan perempuan di Bengkulu, setting agendanya tidak jauh-jauh dari aksi perlawanan atas respon terhadap pihak luar (pemerintah, pemodal) yang mengancam habitatnya. Jika tidak mau repot, sebutlah saja gerakan-gerakan tersebut sebagai gerakan ekstraparlementer, demikian kata beberapa mahasiswa pergerakan. Semuanya berbasis massa, juga seolah-olah gerakan sosial selalu dibumbui dengan ide-ide sosialisme, sarat akan aksi-aksi kolektif, well, tidak ada yang salah dengan itu, saya pun sepakat. Hanya saja, pemaknaan gerakan sosial yang semacam itu terlalu sempit bagi Ikatan.

Terlebih aktivisme semu seperti aksi di jalan dan bersorak-sorai tentulah bukan tujuan dari IMM, itu semua semata-mata hanyalah kenduri ideologis kader yang berada di tingkatan mahasiswa, semata-mata bagian dari kaderisasi untuk menumbuhkan jiwa militansi. Ada waktunya suatu hari seorang kader merasa perihal semacam itu bukanlah suatu agenda utama, jika sampai pada titik akhir proses perkaderan masih menganggap hal semisal itu sebagai suatu urgensi, bagi saya itu sebuah anomali dalam diri kader. Karena pada akhirnya yang harus kita lawan ialah realitas sosial, jadi mengcounter hegemony bukanlah tujuannya, namun itu salah satu jalan yang ditempuh. Dan tentu untuk merubah realitas tidak cukup dengan perlawanan-perlawanan semu semisal tersebut. Saya sepakat dengan agenda-agenda semisal dialektika jalanan yang dibumbui slogan-slogan, poster dan atribut revolusi, tetapi tidak selamanya dan semuanya penting untuk melakukan itu. Saya kira aktivisme tidak harus selalu diwajahkan dalam rupa demikian. Aktivisme versi ikatan harusnya diartikan secara lebih luas. Perlawanan bisa diwujudkan dalam segala ruang. Katakanlah setelah agenda perkaderan, kader-kader Ikatan inilah yang nantinya akan memikul beban aktivisme tersebut. Memang iya, Ikatan secara organisatoris dapat menampakkan fungsinya sebagai alat komunikasi ke para elit atau sebagai pressure melalui wacana, namun bukan berarti dari seluruh kadernya memiliki kewajiban sama yaitu menjaga rumah ikatan yang nyaman lagi besar. Harus ada yang keluar, menanggalkan identitas simbolis namun tetap membawa misi ideologis, dan bukan berarti pula penjaga rumah adalah mereka yang mendapat warisan atas rumah, mereka hanya merawat dan menjaga, ikatan tetap milik bersama, nilai dan beban ideologis tetap di masing-masing kepala kader.

Pola advokasi dari Roem Topatimasang, mungkin cukup memberi gambaran tentang apa yang saya maksudkan, dalam mengerjakan advokasi terdapat pola yang saling terintegrasi antara front-line, ground works, dan supporting line. Tidak ada yang paling utama diantara ketiganya, semuanya berjalan saling berkelindan. Front line melakukan lobi-lobi politik dan bekerja di wilayah litigasi dan lain-lain yang berkaitan dengan kebijakan publik, supporting line memberikan donor berupa materil termasuk didalamnya data-data penelitian, sementara ground work bekerja di ranah grass-root, menyebarkan gagasan dan menjaring sekutu. Namun, untuk mengorganisir kerja advokasi salah satu ruang di masyarakat sekelas LSM. Dan setelah saya pikir-pikir, IMM memang tidak bisa memiliki isu strategis seperti LSM, karena dilihat dari tujuannya sendiri sangat luas dan holistis, maka IMM tidak bisa dipandang hanya sebagai gersos yang melakukan aksi-aksi sosial semacam LSM. Hanya saja apa yang bisa diadopsi dari pola tersebut adalah pembagian ranah, demikianlah Ikatan bisa dibentuk, ground works, front-lines dan supporting line, itulah mengapa ada pembagian kader umat, kader bangsa, dan kader persyarikatan. Karena mengubah realitas tidaklah melulu melalui mobilisasi masa dalam ruang aksi masa ataupun serikat-serikat, kita tidak bisa hanya merawat satu lahan dan berpikir lahan itu akan cukup untuk mensejahterakan seluruh umat baik manusia, dan makhluk lainnya. Maka pada akhirnya yang di lakukan oleh seorang kader ikatan ialah berdiaspora, sebagai pribadi yang mengemban cita-cita luhur tadi. Mengisi ruang-ruang di masyarakat. Misalnya terjun ke LSM-LSM yang kering ideologi dan hanya menjadi broker lembaga donor, mengisi ruang-ruang akademisi sebagai dosen dan peneliti dengan mengikis tradisi positivis dan memasukkan nilai-nilai ideologis serta keberpihakan dalam kegiatan akademisnya, terjun dalam dunia sastra dengan memberi warna pada sastra komoditi yang kering akan perlawanan, menjadi ulama yang peka dan mau berdialog serta bergaul dengan kelompok seminoritas apapun sehingga tidak semaunya memunculkan tafsir yang bias, menjadi script writer dan copy writer yang menyampaikan pesan ideologis dalam script dan tag line iklan (entah bagaimana caranya), menjadi jurnalis yang menuliskan berita dengan segenap keberpihakan dan menghindari bualan, menjadi pelukis, budayawan, penyair, juru masak, pesepakbola, pebulutangkis, penyanyi, teknisi, guru TPA, penjaga perpustakaan, musisi, pengusaha kedai, pengusaha buku, pengusaha retail, dll, juga menjadi milyader agar mampu membeli saham stasiun-stasiun TV dan membeli media-media cetak. Kita harus mampu mengisi ruang-ruang tersebut, melakukan perlawanan di setiap ruang yang subur akan dominasi, tirani dan prinsip-prinsip orbais.

Bentuk perlawanan yang mendiaspora di ruang-ruang masyarakat seperti itulah yang semestinya menjadi agenda utama kita, memercikkan nilai-nilai yang kita bawa di tiap-tiap ruangnya. Karena aktivis tidak selalu diidentikkan dengan ia yang terlibat dalam aksi-aksi massa saja, seorang yang membuka warung kopi adalah aktivis selama ia memasok kopinya langsung dari petani dengan harga manusiawi tanpa melalui tengkulak, seorang pedagang seblak (makanan daerah) pun telah melakukan perlawanan selama ia tidak memasukkan menu-menu Eropa di daftar menunya, seorang mahasiswa bisa melakukan perlawanan dengan menjadikan ruang perkuliahan sebagai panggung orasinya dengan target mengubah mindset orbais di kalangan teman-teman sekelasnya melalui dialog dan presentasi, bahkan, seorang jomblo kesepian pun dapat melakukan perlawanan dengan melipur derita sepi melalui diskusi-diskusi lepas di lobi kampus maupun warung kopi. Jikapun ada kader yang ingin ke struktural elit, itu sah-sah saja dan memang perlu, hanya yang perlu diingat, menjadi bagian dari elit, menduduki jabatan pemerintahan, BUKANLAH tujuan. Karena jabatan hanyalah sebuah akses. Sementara ada berbagai macam akses lainnya, tinggal bagaimana kader bisa jujur terhadap dirinya sendiri, mengenali kompetensi diri, dan memilih akses yang sesuai untunknya. Menyedihkan sekali jikalau ada kader yang terjebak pada aktivisme semu, dan yang kedua terjebak pada menuju jalan elitis, padahal untuk memerdekakan dirinya sendiri dari jerat institusi pendidikan dengan kurikulum dusta saja belum mampu, memerdekakan diri dari jeratan pikiran-pikiran pragmatis saja masih ragu, bagaimana ingin memerdekakan orang lain?

Hal terkahir. Tidak semua dari kader bertugas merawat simbolis Ikatan. Berdiam diri di dalam rumah yang nyaman pada akhirnya hanya akan memperuncing pertengkaran di dalam kandang, baik itu perihal ide dan gagasan, atau pun karena semata-mata menjadikan Ikatan sebagai pijakan untuk mencapai ketokohan dan semacamnya. Tidak perlu kita saling menikam seperti rebutan hak waris, karna sesungguhnya ada banyak sekali ruang yang bisa menampung gagasan-gagasan besar kader, tidak hanya di dalam struktural internal. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa apa-apa yang dituliskan disini hanyalah hasil dari lamunan di siang bolong yang tentunya banyak kekurangan secara analisis gerakan sosial, tapi semoga bisa menjadi pemantik bagi kita untuk memaknai kembali bentuk Ikatan (itu kenapa penulis beri judul, “kader IMM dan aktivisme yang seperti apa?”) setelah lebih dari 51 tahun yang lalu masih berupa benih dan 51 tahun belakangan telah tumbuh menjadi kuncup melati. Demikian, tulisan ini ingin saya tutup dengan sebuah analogi berikut yang semoga saja bisa ditangkap maknanya.

Ada tiga orang yang pergi ke ladang, A membawa cangkul karena ia ingin menanam singkong, B membawa arit untuk memangkas rumput bagi ternak-ternaknya di rumah karena jarak yang cukup jauh, dan C tidak membawa apapun selain enam ekor kambingnya yang digiring untuk merumput. Ketiganya memiliki gagasan sendiri-sendiri untuk mengelola petak ladang yang penuh rumput liar tersebut. A merasa rumput liar begitu mengusik sayuran-sayuran dan singkongnya sehingga ingin membabat habis rumput liar, tapi B merasa rumput liar menguntungkan baginya untuk makan ternaknya dirumah maka perlu dilestarikan, sementara C merasa rumput-rumput untuk kambingnya berkurang terus karena B yang terlalu banyak membawanya pulang. Jadi, ketika terdapat tiga orang dalam satu petak ladang, maka akan ada tiga gagasan yang muncul untuk menggarap ladang sesuai dengan latar belakang masing-masing. Maka diperlukan satu orang yang menanam singkong di kebun, membawa ternak ke lapangan hijau yang luas, dan mencabuti rumput di ladang yang penuh rumput liar.

 *) Kader IMM Fisipol UMY 2012 dan pecinta komunitas Jejer Wadon


Share on Google Plus

About PC IMM AR FAKHRUDDIN

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :